BUKAN AKU YANG SINGAPURA
@rmin
Aku baru saja terbangun dari lelap kurang lebih dua belas jam. Perjalanan yang jauh, namun tidak melelahkan. Scania menjadi ikon mobil yang membawa kami melaju menyusuri dinginnya malam. Ditambah kehadiran AC di atas kepala kami semakin membuat dinginnya malam terasa. Di luar terlihat gelap. Hanya sesekali kami melihat temaram lampu jalan dan juga dari rumah para warga. Untung saja, selimut bercorak garis biru merah terpampang rapat pas di belakang kami. Pun bantal yang bertuliskan New Liman setia berada dalam pelukan yang membuat perjalanan tak terasa. Baru saja beberapa jam yang lalu kami mengajar. Tentunya pada sebuah sekolah favorit, walau letaknya nun jaug di ujung Luwu Timur. Kawan, kalian pasti mengetahuinya. Siapa lagi kalau bukan sekolah binaan PT Inco yang telah lebih 30 tahun bercokol di negeri ini. Menguras Nikel Indonesiai untuk dikirim ke luar negeri. Aku yakin, mereka salah tapi aku tak punya daya. Yang kumiliki hanya memanfaatkannya untuk mengisi kantong pribadiku. Malam ini pun aku aku duduk pada kursi paling mewah untuk deretan bus penumpang di sul-sel karena ajakannya. Ya PT Inco.
****
Jalan-jalan yang tak begitu bagus terus disusuri oleh mobil itu. Walau lurus, kondisinya yang berlubang membuat kami sesekali merasakannya. Kawan, sepertinya jalan itu dalam perbaikan. Aku yakin suatu saat ketika melewatinya maka akan merasakan suatu yang berbeda. Pasti akan lebih nyaman. Beberapa waktu setelah aku terbangun mobil segera menepi. Sudah kebiasaan bagi sang karnet memahami setiap sopir meminggirkan mobilnya. Betul, dia langsung berteriak “salat subuh”. Para penumpang yang kebanyakan islam segera bergegas. Pun tidak semuanya yang islam. Ada diantara mereka yang malah mengambil selimut dan merangkul bantal untuk semakin memperbaiki posisi tidurnya. Kami masih berada pada posisi orang yang memiliki iman. Dengan segera kusibakkan selimut yang entah aku orang keberapa memakainya. Teman yang di dekakku yang selama ini kupanggil dengan nama K Syawal pun segera mengikuti gerakanku. Kami memang selalu memiliki perilaku yang sama ketika sama dalam perjalanan. Bahkan yang ada dalam benak pun ketika memandang objek yang sama terkadang memiliki pemikiran yang sama.
***
Sedikit kuceritakan kawan. Suatu hari, kami berdua mengajar pada sebuah sekolah. Juga untuk bimbingan. Tak usah kusebutkan sekolahnya. Setelah tiga jam mengajar kami keluar pukul 12.00. seperti biasa yang pertama kami lakukan adalah mencari pengganjal perut. Aku menyebutnya seperti itu, karena makanan yang tersedia sangat tak bergizi. Juga begitu dipaksa untuk mengenyangkan. Tak sesuai dengan selera leher kami berdua. Bukan sombong kawan. Kami lebih menyukai sayuran hijau dan juga ikan dari laut. Sederhana. Setelahnya, kami bergegas pada sebuah musallah yang memang telah disediakan di sekolah itu. Pastinya. Kami adalah orang yang sekali lagi masih berada dalam lingkaran iman. Walau tak setebal iman para kiayi sekondang AAGym, Zainuddin MZ, Jefry, dan juga Gusdur. Buktinya, setelah siap dengan posisi berdiri dan aku telah iqamat, maka entah sengaja atau setan yang memaksanya lewat di depan kami, tiba-tiba seorang melewati pinggir musallah. Musalahnya tak berdinding karena menyatu dengan sebuah ruang kelas. Perempuan pastinya. Dia menggunakan baju biru lengan panjang saat itu. Di bawahnya jeans panjang membalut sampai di lutut. Sedikit ketat. Sebelum dia takbir, dia menoleh kepadaku, tersenyum. Aku membalas senyuman itu walau tak ada sesuatu yang lacu. Dengan segera astagfirullah menyumbar dari mulut kami berdua. Pandangan segera diarahkan ke lantai. Takbir. Akhirnya dimulai juga. Kami shalat dengan sedikit pikiran yang kurang bagus. Setelahnya tak lupa kami berdoa kemudian mebahas makna senyuman tadi. Ternyata sama maknanya. Mungkin juga kawan yang membaca cerpen saya ini. Dari situlah sehingga aku paham bahwa kami berdua memang sehati dan terkadang semakna dalam objek yang sama. Apalagi wanita. Walau dia telah menikah. Aku yang belum. Tapi, sama saja. Menikah hanya persoalan kedewasaan. Pikiran tak mudah untuk berubah. Kenyataan yang selalu mengubah pikiran.
***
Setelah, salat maka kami segera pada posisi semula. Baru saja aku selangkah dari pintu mobil, mataku terpajang pada wajah putih. Walau wajah itu bukan putih alami. Pikiranku mengingat wajah itu. Ikatan rambutnya pun sama. Terkumpul ke belakang dan diikat di bagian tengah sehingga ujung-ujungnya terjungkai ke bawah. Tak jauh beda dengan ekor kuda. Aku teringat bahwa perempuan muda itu bersamaku ketika menuju ke tempat ini. Pun pulangnya mata kami kembali bertemu. Tiada rasa di sana. Hanya saling mengikat bahwa kemarin kita semobil dan malam ini juga sama. Segera aku menuju pada kursi yang sedikit berada di belakangnya. Nomor empat belas kursi saya. Dia sepuluh. Segera setelah duduk kucerikan sesuatu pada K Syawal. Dia dengan daim mendengar. Sesekali keluar suaru mengiyakan bahwa dia paham dan masih mendengar cerita saya. Kuceritakan padanya tentang perempuan itu dan dia hanya tersenyum. Aku kemudian melanjutkan. “Kak, dengan suara berbisik, bagaimana kira-kira ketika saya turun di bandara dan mengatakan pada kita sampai jumpa di Singapura lusa. Pasti perempuan itu sontak agak kaget.” Dengan lantang kak Syawal menjawab, “Iya..ya, dan aku mengatakan besok kan aku masih di Malaysia jadi benarlah lusa kita ketemu di sana.” Dia menmbahkan. Aku tersenyum. Tak terasa mobil berbelok. Aku terhenyak. “Kak, betul kan mobil ke bandara, tapi siapa yang turun ya.” Hatiku mulai bertanya-tanya. Kak Syawal yang dampingku tersenyum. Dalam hatiku moga saja bukan perempuan itu yang turun. Ketika dia, maka betapa bodohnya saya dan pastinya syawal akan menertawakn saya. Mobil segera terparkir di depn jejeran penjual tiket masing-masing maskapai penerbangan. Di depan mobil kami Trnas telah lebih dulu parkir. Dengan segera sang karnet yang sekali lagi sudah paham berteriak, “bandara”. Tak lama kemudian dari belakang turunlah beberapa orang laki-laki. Nyatanya, terakhir perempuan yang memiliki rambut ekor kuda tersebut menyusul paling belakang. Ternyata mereka sekeluarga, hanya berpisah tempat duduk. Tak sama dengan kami yang satu posisi. Syawal segera menatapku diikuti cemooh. Aku paham pikirannya. Perempuan itu segera mendekati line garuda. Pastinya untuk membeli tiket. Sekali lagi kupandang perempuan muda itu untuk memastikan betul dia di di sana. Ya, mataku tak salah, walau lama terlelap semalam. Dia perempuan yang kuceritai tadi. Kak Syawal di sampingku hanya terpingkal-pingkal tanpa henti. Bahkan penonton yang lain agak heran. Toh mereka tak paham. Aku duduk terapku. Mataku menerawang pada langit-langit mobil yang hanya satu warna. Air liurku tertahan di tenggorokan. Nafas tak beraturan. Darah tak mengaliri semua arteriku. Malu. Hanya kata itu yang ada dalam pikiran. Juga hati mengiyakannya walau dengan degupan. “Hah...kenapa aku begitu bodoh menilai diri sendiri dan orang lain.” Syawal masih terpingkal. Bahkan air matanya hampir saja keluar gara-gara tawa. Hanya senyuman kecil yang keluar dari bibirku yang beku. Ternyata bukan aku yang ke Singapura. Tapi, kawan, sabarlah suatu waktu kalian akan membaca cerita saya tentang Singapura. Aku harus ke sana. Entah kapan kawan.
Makassar, 17 Maret 2009
Pak Armin harus mencapai mimpix..... Pak Armin pasti bisa kok.....
BalasHapusUlfah