YANG DINANTI
Tepat malam tanggal 14 Februari. Banyak orang mengatakannya malam itu adalah malam valentine. Aku hanya sering mendengar istilah itu di televisI atau membacanya di Koran lokal dan nasional. Terutama menjelang dirayakannya hari tersebut. Ya, sekadar membacanya. Tetapi, suatu kali aku juga pernah membaca sekilas sejarah hari kasih sayang tersebut. Nama lain untuk valentine. Sebenarnya nama valentine itu diambil dari nama seorang panglima perang masa silam. Saat itu seorang panglima perang dilarang untuk menikah. Alasannya, dengan menikah dan pasti melakukan persanggamaan akan mengurangi kekuatan sang panglima perang. Sesuatu yang sangat ditakutkan pada zaman tersebut. Akhirnya, karena ketahuan oleh sang raja, maka dia pun dibunuh. Dari situlah mulai banyak orang yang bersimpati kepadanya dan orang selalu memperingati hari dibunuhnya panglima tersebut. Berkembanglah menjadi sebuah perubahan hari kasih sayang.
Pun sejarh ini tersebar dengan cepat dan termasuk menghinggapi manusia Indonesia yang begitu cepat menerima segala hal perubahan. Entah positif atau negatif. Dari sekian sahabat dan teman yang aku tanya, mereka tidak pernah alpa dari pesta kasih sayang tersebut. Tetapi, anehnya, mereka memaknai sangat dangkal dari hari tersebut. Memaknainya bahwa hari yang paling sering dirayakan pada malam sebelum harinya datang, adalah sebuah peringatan yang harus dirayakan dengan pasangan hidup. Entah dia suami-istri ataupun pasangan sejoli yang lagi dimabuk asmara kemunafikan. Toh, yang paling banyak merayakan pesta tersebut adalah mereka yang masih dalam status pacaran. Pun merayakannya dengan pemaknaan yang dangkal.
Malam itu, aku sedang bersama kawan-kawan lembaga—maklum aku masih sering menghadiri acara seperti itu walau sudah setahun meninggalkan kampus—di sebuah pantai Makassar. Jam pada handpohoneku telah berada pada angka 03.00 Wita. Malam yang telah larut. Bahkan sebentar lagi, matahari pasti akan datang mengusir bulan yang memang tak berani tampil malam itu. Di sekeliling aku melihat tak begitu ramai. Juga tak begitu sepi. Yang kulihat pastilah pasangan laki dan perempuan yang lalu lalang di hadapan, di samping, dan di belakang kami. Aku baru teringat bahwa malam itu adalah malam kasih sayang. Malam yang juga menjelma menjadi malam hilangnya keperawanan bagi banyak perempuan di dunia ini. Tak ketinggalan Indonesia dan Makassar khususnya pasti sama dengan semua itu. Di sisi lain, pada sebuah pohon pisang dan patahan kayu-kayu besar yang terdampar di pinggir pantai—maklum pantai itu bukanlah tempat rekreasi, ditambah hujan yang datang mengguyur kota tersebut menyebabkan sampah berserakan di mana-mana, termasuk laut—juga tak luput dari pasangan muda-mudi. Mereka duduk di atas patahan kayu dan pohon pisang tersebut. Terkadang sesekali sambil merangkul dan bahkan sambil mencumbu dalam kenikmatan tiada tara. Kenikmatan yang terbungkus oleh kemunafikan. Meraka tak peduli siapa yang lewat di sekitarnya. Toh mereka tahu bahwa siapa yang datang malam itu pastilah memiliki tujuan yang sama. Juga tak perlu diragukan pikiran yang sama.
Belum lagi malam kasih sayang yang dirayakan pada gedung-gedung tinggi dan mewah di kota ini. Bahkan hotel dan kafe modern lainnya menghadirkan artis papan atas hanya untuk menspesialkan malam tersebut. Bahkan, katanya sudah menjalar juga lelang pasangan untuk ditemani berkasih dalam semalam. Hal ini tidak perlu ditanyakan ketika di luar negeri. Saya menyinggngunya karena kita –Indonesia—adalah Negara berpenduduk islam terbesar di dunia.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Ternyata sms dari teman lama yang telah berada di luar kota. Setahun lamanaya aku tak pernah bersua dengannya. Dengan sigap kubuka handphoneku. Aku membacanya kata demi kata. Ternyata ada juga yang mengirimkan selamat valentine untukku. Aku hanya membalas sms itu dengan senyum kekeh.”he..he..23 kali”. Segera kukirim. Dia marah dan memakiku. Katanya aku tak mengerti tentang hari kasih sayang. “jadilah orang yang cepat tua” katanya dalam balasan SMS. Aku memutuskan untuk tidak membalas lagi SMS itu. Kututup handphone ku dan kulanjutkan cerita dengan teman. Tetapi kata-kata teman dalam SMS tadi masih membekas. Betulkah aku seperti itu.
Dalam hati, aku yakin bahwa wanita mana di Makassar ini yang tidak mau denganku. Sudah kujalani beberapa bulan semasa kuliah hidup yang seperti itu. Semunaya hanya kemunafikan. Kenikmatan sesaat. Kenikmatan yang berbuah penyesalan. Apalagi malam valentine. semuanya hanya sia-sia. Toh, kasih sayang yang diberikan hanyalah kasih sayang semu. Kasih sayang yang membutuhkan materi dan balasan kenikmatan sesaat. Ditambah dengan dosa yang mendalam dan lebih berbahaya. Akan mengantarkan pada kenikmatan neraka.
Aku hanya terus berjuang untuk memperingatkan kawan-kawan agar tidak dalam keterpengaruhan kasih sayang ini. Di sisi lain, aku melihat banyak anak-anak dengan wajah kusut dan pakaian compang-camping tertidur pulas pada halte yang kotor. Halte yang tak lagi digunakan untuk menunggu kendaraan yang sering terlambat datangnya. Dimana sebenarnya pemaknaan kasih sayang tersebut. Kenapa bukan orang yang seperti itu tempat untuk mencurahkan kasih sayang. Ataukah mereka memang tak pantas untuk dikasihani. Untuk diberi kasih sayang. Hanya karena ada rasa yang terdorong oleh nafsu yang membuat mereka saling mengasihi. Saling menyayangi.
Merekalah yang sepantasnya tercurahkan kasih sayang. Sehingga pemahaman kasih sayang yang sifatnya luas mampu untuk dimaknai dan diterapkan dalam hidup yang mesra. Kesejahteraan akan terjamin tercipta dengan pemahaman kasih sayang yang sebenarnya. Kasih sayang orang kaya kepada orang miskin. Kasih sayang orang tua kepada anaknya. Kasih sayang suami kepada istrinya, begitupun sebaliknya. Yang terpenting kasih sayang pemerintah untuk rakyatnya.
Makassar, 20 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar