Caleg Bodoh
Samar-samar suara hasil pemilu yang berasal dari Tempat Pemungutan Suara sudah muncul di KPPS Kecamatan. Samar-samar pula setiap calon legislatif tingkat kabupaten, provinsi, pusat serta Dewan Perwakilan Daerah mengetahui jumlah perolehan suara mereka. Ditambah dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sehingga mereka semakin yakin atas perolehan suara tersebut. Akhirnya jelaslah apa yang terjadi pada diri caleg. Pastinya ada yang begitu berbahagia, ada pula yang santai saja, dan pastinya ada yang sangat kecewa, depresi, bahkan sampai ada yang stres. Yang bahagia adalah mereka yang telah mengeluarkan uang dengan begitu besar yang diimbangi dengan perolehan suara yang juga mengantar mereka ke kursi empuk. Mereka yang bersantai saja adalah mereka yang tak mengeluarkan dana begitu besar, sementara mampu mendulang suara yang begitu besar. Nah, pastinya yang kecewa adalah mereka yang tak terpilih pun karena modal mereka pas-pasan. Yang depresi adalah mereka yang telah mengeluarkan uang tetapi tak mampu mendulang suara. Sedangkan yang stres sampai diantar ke rumah sakit jiwa adalah para caleg yang telah mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar sementara tak sebanding dengan suara yang mereka peroleh.
Anehnya lagi, beberapa caleg di negeri ini bukan hanya mengalami gangguan jiwa, tetapi ada yang lebih dari itu. Ada diantara mereka yang sudah jauh dari sisi kemanusiaannya sebagai makhluk sosial. Sebut saja di papua, seorang caleg yang meminta pengembalian karpet yang telah diberikan kepada para ibu majelis taklim yang berjumlah 20 orang di daerah tersebut. Padahal dari 20 orang yang menjadi anggota majelis taklim tersebut hanya satu orang yang tak memilihnya. Pun itu karena dia sakit sehingga tak mampu datang ke TPS tetapi memilih untuk pergi berobat di rumah sakit daerah.
Belum lagi di daerah Cirebon. Seorang caleg yang meminta pengembalian 8 zag semen yang telah disumbangkan untuk perbaikan jalan warga setempat. Akhirnya, karena kalah dia mengutus orang-orangnya untuk meminta kembali semen tersebut. Maka pak RW lah yang arus merogoh koceknya sendiri karena semen yang disumbangkan telah digunakan oleh warga. Sesuatu yang memalukan dan sekaligus memilukan. Dua cerita di atas hanyalah bagian kecil dari apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat caleg.
Artinya, betapa malang negeri ini dengan sistem demokrasi yang terus seperti itu. Orang, siapa pun dia, dengan bebas mendaftar ke partai politik untuk menjadi calon anggota legislatif. Pun tak ada pengaderan yang jelas yang dilakukan oleh partai politik saat ini untuk memberikan bekal kepada orang-orang yang bergabung dalam lingkaran “setan” mereka. Ditambah dengan banyaknya orang yang berkeinginan mendirikan partai dengan modal ketokohan serta perasaan tersisi dari partai yang selama ini menaungi mereka.
Sebutlah partai-partai baru yang berhasil menduduki urutan sepuluh besar dalam daftar perolehan suara nasional saat ini (pemilu 2009). Partai-partai tersebut dibuat dan dibentuk oleh orang-orang yang telah bergabung dengan partai yang besar sebelumnya. Karena tak mendapatkan tempat yang layak pada partai yang ditempatinya, akhirnya mereka mengambil haluan untuk sesuatu yang lain dengan membentuk partai sendiri dan dirinya menjadi sesepuh di sana. Itulah sebuah sistem keinginan karena memang seperti itulah hakikat seorang manusia. Apalagi manusia yang hidup dalam zaman perpolitikan nasional yang sangat panas dan semakin jauh dari tujuan menjadikan kesejahteraan sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini jelas terbukti dengan banyaknya caleg yang depresi, stres, dan sampai bunuh diri karena ketakmampuan mereka menerima kenyataan. Artinya, bahwa yang mereka inginkan memang dari awal bukanlah menjadikan rakyat sejahtera dengan berbagai jalan perjuangan, tetapi yang tertanam dalam benak mereka adalah kursi empuk bergengsi dan berbayar mahal tersebut serta fasilitas lain yang pasti sangat mengasyikkan dan terus membayang dalam benak mereka. Harapan saat ini adalah semoga mereka yang lahir dari pemilu ini dan nantinya akan dewasa dalam panggung DPRD, DPR serta DPD nantinya. Semoga di saat mereka duduk dalam kursi yang banyak membuat orang “gila” tersebut juga tak berubah menjadi gila. Jangan sampai yang gagal dan yang lolos memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama “gila”
Makasar, 17 April 2009
tulisannya diperbanyak mas
BalasHapusknp pak... kok nggak prnh nulis lg? ayo dong... tulisanya d perbanyak...
BalasHapussyukron pak...