Kampanye
Aku menulis tulisan kita ketika kampanye putaran terakhir dalam rangka pesta demokrasi di Indonesia berlangsung. Setiap hari pikiran saya disesaki tentang kampanye. Koran kompas yang datang setiap pagi pun memberikan suguhan kampanye. Ketika kuputar televisi di pagi hari pun berita kampanye yang mendominasi. Hanya sesekali diselingi berita yang lain. Itupun pembunuhan dan pemerkosaan. Menjijikkan.
Partai yang jumlahnya 38 silih berganti diberitakan mengenai kegiatan kampanyenya. Berbagai macam pola kampanye yang mereka lakukan. Tetapi, yang paling lazim dan paling banyak dilakukan oleh partai adalah berkampanye atau lazim disebut rapat terbuka dengan menghadirkan para jurkam yang disertai dengan hadirnya artis tertentu. Pastinya pengerahan massa yang ribuan hingga ratusan ribu. Tergantung, sebagaimana besar kemampuan besar kemapuan seorang master campaign. Pastinya semuanya akan berujung dengan uang. Prinsip klasik politik kan siapa mendapatkan apa? Itu saja. Sangat sederhana walau mengandung filosofi yang dalam. Hal tersebut secara terus menerus berlaku hingga saat ini, terutama di Indonesia, dan bahkan semakin “menggila.”
Masyarakat kecil pun seakan semakin tahu tentang pameo tersebut. Bahkan, di televisi dan juga di sekitar rumah saya yang kutemui mengaku baukan hanya sekali mengikuti kampanye. Tentunya juga bukan dengan satu partai. Mereka diiming-imingi uang dua puluh ribuan untuk mengikuti sebuah arakan kampanye partai tertentu. Siapa yang tidak mau dalam masa krisis saat ini. Daripada tinggal di rumah memeluk bantal atau menyaksikan pesta kampanye di lelevisi lebih baik pergi untuk menyaksikan artis bergoyang dan menggoyang serta mengisi kocek yang memang susah untuk berisi. Bayangkan saja, jika hal tersebut terjadi pada banyak orang. Artinya, bahwa panggung kampanye yang disebut rapat akbar semakin semu untuk menentukan jumlah kader dan simpatisan sebuah partai.
Kita lihat di Papua, sekelompok masyarakat yang menurunkan atribut partai Gerindra. Apa pasal? Ternyata kasus yang sama. Sehari sebelum kampanye, seseorang datang menjanjikan mereka uang lima puluh ribu rupaih untuk mengikuti kampanye. Tetapi samapi kampanye berlangsung, orang tersebut tak kunjung datang. “Siapa mendapatkan apa?” lagi-lagi. Tetapi itulah sebuah resiko pesta demokrasi saat ini. Semuanya serba semu, yang menentukan pastilah ketika seseorang berada di bilik suara. “Ambil uangnya, jangan pilih partai dan calegnya.” Jawaban itulah yang keluar dari para tetangga saya yang katanya telah mendapatkan uang dari berbagai macam partai politik. Yang pasti, mereka tak akan mengetahui pilihan saya nantinya. Begitulah jawaban masyarakat ketika ditanya tentang kemungkinan mereka untuk mencontreng partai yang telah memberikannya uang. Semuanya semu. Lagi-lagi, siapa mendapatkan apa.
Dari bilik kamarku, aku hanya berharap semoga dari belasan ribu caleg yang sedang bertarung, diantar mereka yang terpilih adalah seorang caleg yang memiliki niat ikhlas untuk sebuah perubahan masyarakat yang lebih baik. Bukan mereka yang “Siapa mendapatkan apa?” semoga.
Makasar, 05 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar