Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan

Sekolah dan Kemanusiaan

Entah mengapa pagi ini koran kompas begitu cepat kedengaran menyentuh pintu depan. Biasanya juga, aku sudah melangkahkan kaki menuju tempat kerja, koran itu belum juga datang. Hari ini, kedatangannya betul-betul cepat. Mungkin karena pengantarnya yang berganti atau mungkin karena dia ingin menyenangkan saya yang selalu dia antarakan dengan waktu yang tak jelas.
Makanya pagi ini pula, kusempatkan diri untuk membaca beberapa bagian dari koran tersebut sebelum aku berangkat kerja. Mumpung, karena baru kali ini aku menemukan koran datang pada jam kerja. Hari yang sering aku temukan koran datang ketika saya ada di rumah hanya sabtu dengan ahad. Itu pun bukan waktu yang pagi. Semuanya di atas pukul delapan bahkan terkadang waktunya tidak jelas. Yang jelas, hari ini aku bersyukur. Semoga esok-esok pun seperti itu.
Lembar demi lembar aku buka. Aku malas melihat halaman utama yang hanya memberitakan info terbaru kampanye yang sudah berakhir. Kita akan berada pada Minggu tenang, katanya. Walau bukti yang ada kita makin terusik dengan kedatangan mereka ke rumah-rumah sambil membawa barang-barang tertentu yang disertai dengan kartu nama. Tentu kartu nama caleg. Sekali lagi pameo banyak tetangga, “Ambil uangnya, jangan pilih calegnya.”
Makanya tak kubaca halaman pertama koran itu. Kubuka pada lembar berikutnya dan ternyata juga masih berita tentang parpol. Kulangkahi lagi, sampai beberapa halaman dan aku terhenti pada berita humaniora. Kubaca, dan kukernyutkan sedikit kening. Dengan judul serta ilustrasi gambarnya kupaham bahwa pastinya berita setengah halaman ini berbicara tentang pendidikan. Kutelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf pertama terlewatkan. Aku melirik jam yang berada di dinding. Di sana terlihat sudah pukul 07. 05. untunglah, senin karena upacara maka saya masuk pukul 07. 45. saya begitu malas untuk mengikuti upacara. Rutinitas yang menoton dan itu itu terus. Kulanjutkan pembacaanku pada paragraf berikutnya. Aku semakin tertarik. Tulisan itu berbicara tentang sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Alam di Semarang. Luas lahannya kurang lebih 2 hektar. Sebuah wilayah yang pastinya agak luas untuk ukuran sebuah sekolah. Dua hektar wilayah tersebut tidak digunduli. Para pengelola sekolah malah membuat sebuah rumah-rumah panggung di tengah wilayah. Dibiarkannya rumah panggung itu tak berdinding. Atapnya pun terbuat dari ilalang yang telah dikeringkan.
Ternyata pelopor dari pendidikan yang menjadikan alam sebagai media pembelajaran tersebut bernama.......cita-citanya murni sebuah sistem pendidikan masa depan yang menginginkan seluruh potensi siswa lokal Indonesia tergali sesuai dengan kemampuan dan apa yang kita miliki. “Mengapa kita mesti mencontoh sistem sekolah negara lain, padahal kita mampu untuk menciptakan sistem yang sesuai dengan kondisi kita, dan wah ternyata hasilnya tak kalah dengan mereka.” Ungkapnya dalam koran tersebut.
Artinya, di Indonesia Dinas Pendidikan mestinya lebih berfikir untuk sebuah masa depan kita. Kita semua sepakat bahwa sekolah adalah elemen paling penting dalam negara ini. Sekolah menjadi media untuk mencerdaskan bangsa dan menghasilkan generasi yang akan melanjutkan pembangunan serta menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Lalu apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Anggaran dunia pendidikan kita sekarang sudah mencapai amanat undang-undang dalam APBN yaitu sebesar 20 persen. Lalu, apanya yang kurang. Kurang cerdas, atau kurang kompetenkah guru yang mengajar di negeri ini. Ah, sudahlah. Sebuah harapan tinggallah harapan. Sebuah keinginan tinggal keinginan. Sebuah kemauan tinggallah kemauan.
Semuanya mesti berada pada wilayah kesadaran kita masing-masing. Kita harus bertanya, mengapa pengembangan dunia pendidikan lebih aktif terjadi pada sekolah-sekolah swasta dan juga nonformal. Padahal mereka menggunakan dana yang bukan berasal dari negara. Toh, ketika ada bantuan dari negara, itu hanyalah sebuah bantuan yang sangat sedikit membantu.
Kita mesti paham untuk menyelesaikan secara bersama. Potensi yang ada pada diri siswa Indonesia sebenarnya sangat besar. Tak kalah dengan apa yang dimiliki oleh negara lain. Tetapi, mengapa kemarin Korea berhasil meluncurkan satelitnya (pengakuan mereka) sementara kita masih menjadi penonton yang melototi semua itu.
Kita pasti bisa, semua pasti bisa. Bekerjasamalah untuk sebuah perubahan masa depan bangsa.


Makasar, 06 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar