Jumat, 09 April 2010

Revolusi

Sejarah Awal Perkumpulan Organisasi Gerakan Pemuda Indonesia - Sejarah Pra Kemerdekaan RI
Sebelum Indonesia merdeka, negara kita memiliki berbagai organisasi kepemudaan yang beranggotakan para pemuda-pemudi Indonesia baik yang bersifat nasional maupun kedaerahan. Berikut ini adalah daftar beberapa organisasi perkumpulan pemuda di Indonesia :
1. Budi Utomo / Boedi Oetomo
Budu Utomo berdiri pada tahun 1908 yang pada awal mula berdirinya merupakan organisasi pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan, namun pada perkembangannya berubah menjadi organisasi perkumpulan pemuda nasional.
2. Trikoro Dharmo / Tri Koro Dharmo
Trikoro Dharmo adalah sebuah perkumpulan pemuda yang berasal dari Jawa pada tahun 1915 di gedung kebangkitan nasional. Organisasi ini kemudian mengubah nama menjadi Jong Jawa pada kongres di Solo. Arti definisi / pengertian dari tri koro dharmo adalah Tiga Tujuan Mulia.
3. Jong Sumatra Bond (Persatuan Pemuda Sumatra)
Organisasi oni berdiri pada tahun 1917 yang memiliki tujuan untuk mempererat hubungan antar pelajar yang berasal dari sumatera. Beberapa toko terkenal dari organisasi ini yaitu seperti M. Hatta dsan M. Yamin.
4. Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
Organisasi yang satu ini berdiri pada tahun 1925 yang diprakarsa oleh mahasiswa Jakarta dan Bandung dengan tujuan untuk Kemerdekaan Indonesia.
5. Jong Indonesia
Perkumpulan pemuda dan pemudi ini didirikan pada tahun 1927 di Bandung di mana kemudian organisasi ini diubah menjadi Pemuda Indonesia untuk yang berjenis kelamin laki-laki dan Putri Indonesia bagi yang perempuan. Pemuda Indonesia membuat kongres di mana pada kongres yang kedua menghasilkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
6. Indonesia Muda
Indonesia Muda adalah organisasi nasional yang lahir karena dorongan Sumpah Pemuda pada tahun 1930 sebagai peleburan banyak organisasi pemuda daerah / lokal.
7. Organisasi Perkumpulan Daerah
Setelah muncul jong jawa dan jong sumatra bond, maka bermunculanlah organisasi lokal kedaerahan lain seperti jong celebes, jong ambon, jong minahasa, dan lain sebagainya.

Cerita Tentang Pergerakan Mahasiswa
Malam ini sepulang dari misa sore, saya berdiskusi dengan adek saya tentang pergerakan mahasiswa. Adek saya adalah salah satu petinggi BEM di kampusnya saat ini. Dia bercerita mengenai dinamika dan kondisi gerakan mahasiswa di kampusnya itu. Ada banyak cerita yang muncul, mulai dari cerita yang heroik sampai cerita yang paling konyol.
Cukup banyak cerita yang sama dengan pengalaman saya sewaktu di fisipol tempo dulu. Cerita tentang perjuangan mahasiswa dengan pergerakannya yang ingin membela rakyat kecil dengan menegakkan keadilan di negeri ini. Sungguh merupakan suatu niatan yang mulia dan sudah menjadi tugas mahasiswa sebagai agent of change di negeri yang sedang belajar berdemokrasi ini.

Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa merupakan kekuatan politik yang cukup diperhitungkan di negeri ini. Saya pribadi kagum dan salut dengan keberanian teman-teman yang berjuang dalam pergerakan mahasiswa untuk memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Dulu waktu di SMA saya sangat menyukai pelajaran Tata Negara dan juga Wawasan Kebangsaan. Saya tertarik dengan dunia politik dan sering berdiskusi dengan teman atau kakak kelas yang telah menjadi aktivis gerakan. Pertama kali mengenal teknik-teknik melakukan demo pada waktu melaksanakan OSPEK di fakultas fisipol. Hal ini membuat saya semakin bersemangat dan berminat untuk memasuki salah satu gerakan di kampus fisipol pada era 1998. Namun niatan itu saya urungkan ketika saya melihat beberapa fenomena yang tidak sehat dalam dunia gerakan mahasiswa itu sendiri.
Beberapa diantaranya adalah :
- Gerakan mahasiswa identik dengan intimidasi dan kekerasan. Mahasiswa yang katanya anti militerisme ternyata justru memelihara karakter kekerasan militer dengan melakukan intimidasi pada orang-orang yang berbeda pendapat. Pemeliharaan budaya militerisme dan intimidasi bisa dilihat dari OSPEK di tahun 90an waktu itu. Saya dan beberapa teman saya pernah disidang dan diintimidasi karena berbeda pendapat dengan gerakan aliran tertentu.
- Setiap gerakan mahasiswa memiliki visi yang berbeda-beda dan terlalu eksklusif dengan kelompoknya sendiri sehingga saya seringkali melihat satu sama lain malah sibuk berkelahi sendiri. Mereka cenderung membela kepentingan berdasarkan kebenaran menurut kelompoknya sendiri.
- Anarkis. Kebanyakan demonstrasi berakhir dengan kerusuhan dan pengrusakan hasil-hasil pembangunan sehingga negeri ini justru tidak pernah maju dalam pembangunan namun semakin rusak dan kacau.
- Komitmen sesaat dan kemunafikan. Hampir sama dengan apa yang diceritakan dalam film GIE. Beberapa senior aktivis gerakan jaman dahulu ketika sudah menduduki kursi pemerintahan meninggalkan komitmennya karena uang ataupun kesenangan lainnya. Bisa dilihat dari daftar koruptor yang beberapa diantaranya mempunyai track record sebagai mantan aktivis gerakan mahasiswa.
- Beberapa fakta yang pernah beredar di kalangan dosen menyebutkan bahwa sebagian besar mahasiswa yang menjadi aktivis demo dalam suatu gerakan mahasiswa tidak memiliki prestasi akademik di kampusnya. Muncul sebuah persepsi bahwa gerakan mahasiswa hanyalah sebuah tempat pelarian masalah orang-orang yang tak berakal. Ini dikuatkan dengan budaya mengutamakan kekerasan dalam tiap aksi. Lebih memilih menggunakan otak di kaki daripada di kepala ?

Cerita adek saya membuat saya semakin yakin bahwa beberapa fenomena yang tidak sehat diatas masih saja terjadi saat ini. Jika saja gerakan mahasiswa bisa melepaskan diri dari hal - hal yang tersebut di atas, saya yakin semakin banyak orang yang bersimpati dan mendukung pergerakan mahasiswa.
Dalam suatu kesempatan, seorang adek kelas saya menuliskan sebuah semboyan yang berbunyi “Mendidik Rakyat dengan Pergerakan dan Mendidik Penguasa dengan Perlawanan”. Sebuah semboyan yang cukup bagus filosofinya dan juga sering diusung oleh sebuah gerakan mahasiswa tertentu.
Pertanyaan saya adalah :
- Apakah kerusuhan anarkis dalam setiap demo yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan kesalahan tafsir mahasiswa terhadap semboyan ini? Menafsirkan pergerakan dan perlawanan sebagai sebuah aksi radikal yang berujung pada kekerasan?
Jika benar demikian, saya rasa akan terjadi sebuah peperangan yang berkepanjangan antar saudara sebangsa sendiri. Hal ini disebabkan karena demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebagian rakyat dididik untuk bergerak dan melawan penguasa yang merupakan bagian rakyat yang lain. Sedangkan sebagian rakyat lain yang duduk sebagai penguasa selalu bersiap untuk menghadapi perlawanan dari rakyat yang lainnya. Maka terjadilah perang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk kehancuran rakyat itu sendiri.
Tidakkah seharusnya Rakyat dan Penguasa adalah mitra abadi yang seharusnya saling membangun dan saling melengkapi satu sama lain? Sepertinya tidak untuk di negeri ini. ;)


Tong kosong, nyaring bunyinya tapi sedikit manfaatnya selain memekakkan telinga. Aksi massa yang dilakukan oleh seratusan orang yang mengaku mahasiswa kemarin dilaporkan sangat anarkis. Apakah mereka betul adalah mahasiswa? Mahasiswa yang seyogyanya menggunakan akal pikir otaknya untuk bergerak menegakkan kebenaran ternyata hanyalah kumpulan orang yang telah berubah menjadi sangar dan mengerikan. Itukah cermin calon pemimpin bangsa Indonesia? Selalu mengutamakan kekerasan dalam bertindak?
Aksi massa yang dilakukan mahasiswa kemarin benar-benar suatu pergerakan yang tidak cerdas. Lebih banyak kerugiannya dibanding keuntungan dari aksi tersebut. Satu pertanyaan yang muncul adalah apakah benar mahasiswa murni memperjuangkan rakyat yang sedang menderita atau justru menjadi ALAT POLITIK bagi perebutan kekuasaan di Indonesia?
Apa yang diperoleh oleh rakyat dengan aksi massa tersebut? Selain menghasilkan :
- Kemacetan parah, sehingga kegiatan banyak orang terhambat. Produktivitas orang-orang bekerja juga terhambat. Banyak sopir-sopir angkutan masal yang penghasilannya berkurang karena tidak bisa bekerja.
- Rasa takut dan kecemasan. Bagaimana rasanya jika anda adalah ibu-ibu yang ada di bus yang dihentikan dan diusir keluar? atau bagaimana rasanya jika anda menjadi penumpang mobil berplat merah yang digulingkan dan dibakar?
- Korban-korban kekerasan fisik dari mahasiswa dan polisi.
- Kerusakan material baik pagar dewan, mobil yang dibakar, maupun fasilitas umum lainnya yang nota bene adalah hasil uang rakyat.
- Mahasiswa turut memperparah global warming dengan membakar ban bekas!!!

Jika pergerakan mahasiswa hanya dipandang sebagai kekuatan massa, maka peristiwa tahun 1998 akan kembali terjadi. Kekuatan hebat yang bisa menggulingkan kekuasaan tapi tidak bisa diandalkan untuk membangun negeri ini.
Saya sendiri salut dengan orang-orang muda yang masih bertahan dengan gerakan nyata selain aksi massa. Lihatlah aksi mereka dalam KULIAH KERJA NYATA, dalam PRAKTEK KERJA PROFESI, ataupun orang-orang muda yang bergerak secara personal memajukan masyarakat sekitar dengan suatu pemberdayaan, atau mahasiswa-mahasiswa yang menciptakan suatu inovasi baru sebagai solusi menghadapi kesulitan hidup di negeri ini.
Aksi massa tentang kenaikan BBM menurut saya adalah sebuah isu untuk menggulingkan kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan rakyat dan kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Apa gunanya BBM murah jika pada akhirnya kita menjadi orang yang tergantung dengan minyak yang langka? Hal yang seharusnya dirubah adalah bagaimana perilaku kita dalam menghemat penggunaan BBM bukan menuntut harga BBM diturunkan.
Baru-baru ini saya mendengar tentang gerakan masyarakat pecinta air (egmca.org) yang menemukan teknologi baru untuk menghemat BBM. Juga berbagai berita tentang kreativitas seseorang dalam memanfaatkan BBM alternatif seperti gas sebagai BBM motor. Kesulitan BBM membuat mereka menggerakkan kreativitasnya dan hal inilah yang justru membantu masyarakat untuk semakin maju dan tidak bergantung pada sumber daya alam yang terbatas.
Lalu akankah gerakan massa mahasiswa berubah? Jika mahasiswa hanya mengutamakan kekerasan dan aksi massa anarkis, maka lambat laut simpati masyarakat akan berkurang. Mahasiswa bukan lagi agent of change tapi agent of terror. Hanya bisa menggulingkan tanpa bisa membangun, itulah calon pemimpin bangsa Indon esia dan semakin terpuruklah bangsa Indon esia.
Hai mahasiswa Indon esia, mana akal pikirmu? Jika hanya kekerasan, semua orang juga bisa melakukan kekerasan. Jika hanya bisa menekan pemerintah, semua orang juga bisa menekan pemerintah. Jika hanya bisa menggulingkan kekuasaan, tanpa menjadi mahasiswa pun orang bisa menggulingkan kekuasaan.
Suatu refleksi buat saya untuk kembali lagi ke masyarakat dalam Praktek Kerja Profesi, masyarakat kecil tidak membutuhkan demo, atau turunnya BBM. Mereka lebih membutuhkan tangan-tangan yang mendampingi mereka, mendengarkan keluh kesah mereka, melatih mereka untuk menyiasati beratnya hidup, memotivasi dan membuka kesempatan mereka untuk berkarya, melepas mental miskin dan ketergantungan dalam kemiskinan struktural, serta menjadi suara mereka yang nyaris tak terdengar oleh tong kosong para mahasiswa dalam aksi massanya.




Gerakan mahasiswa di Indonesia
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
Sejarah
1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.











1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar