Kamis, 26 Maret 2009

जंगन Sombong

BUKAN AKU YANG SINGAPURA
@rmin


Aku baru saja terbangun dari lelap kurang lebih dua belas jam. Perjalanan yang jauh, namun tidak melelahkan. Scania menjadi ikon mobil yang membawa kami melaju menyusuri dinginnya malam. Ditambah kehadiran AC di atas kepala kami semakin membuat dinginnya malam terasa. Di luar terlihat gelap. Hanya sesekali kami melihat temaram lampu jalan dan juga dari rumah para warga. Untung saja, selimut bercorak garis biru merah terpampang rapat pas di belakang kami. Pun bantal yang bertuliskan New Liman setia berada dalam pelukan yang membuat perjalanan tak terasa. Baru saja beberapa jam yang lalu kami mengajar. Tentunya pada sebuah sekolah favorit, walau letaknya nun jaug di ujung Luwu Timur. Kawan, kalian pasti mengetahuinya. Siapa lagi kalau bukan sekolah binaan PT Inco yang telah lebih 30 tahun bercokol di negeri ini. Menguras Nikel Indonesiai untuk dikirim ke luar negeri. Aku yakin, mereka salah tapi aku tak punya daya. Yang kumiliki hanya memanfaatkannya untuk mengisi kantong pribadiku. Malam ini pun aku aku duduk pada kursi paling mewah untuk deretan bus penumpang di sul-sel karena ajakannya. Ya PT Inco.
****
Jalan-jalan yang tak begitu bagus terus disusuri oleh mobil itu. Walau lurus, kondisinya yang berlubang membuat kami sesekali merasakannya. Kawan, sepertinya jalan itu dalam perbaikan. Aku yakin suatu saat ketika melewatinya maka akan merasakan suatu yang berbeda. Pasti akan lebih nyaman. Beberapa waktu setelah aku terbangun mobil segera menepi. Sudah kebiasaan bagi sang karnet memahami setiap sopir meminggirkan mobilnya. Betul, dia langsung berteriak “salat subuh”. Para penumpang yang kebanyakan islam segera bergegas. Pun tidak semuanya yang islam. Ada diantara mereka yang malah mengambil selimut dan merangkul bantal untuk semakin memperbaiki posisi tidurnya. Kami masih berada pada posisi orang yang memiliki iman. Dengan segera kusibakkan selimut yang entah aku orang keberapa memakainya. Teman yang di dekakku yang selama ini kupanggil dengan nama K Syawal pun segera mengikuti gerakanku. Kami memang selalu memiliki perilaku yang sama ketika sama dalam perjalanan. Bahkan yang ada dalam benak pun ketika memandang objek yang sama terkadang memiliki pemikiran yang sama.
***
Sedikit kuceritakan kawan. Suatu hari, kami berdua mengajar pada sebuah sekolah. Juga untuk bimbingan. Tak usah kusebutkan sekolahnya. Setelah tiga jam mengajar kami keluar pukul 12.00. seperti biasa yang pertama kami lakukan adalah mencari pengganjal perut. Aku menyebutnya seperti itu, karena makanan yang tersedia sangat tak bergizi. Juga begitu dipaksa untuk mengenyangkan. Tak sesuai dengan selera leher kami berdua. Bukan sombong kawan. Kami lebih menyukai sayuran hijau dan juga ikan dari laut. Sederhana. Setelahnya, kami bergegas pada sebuah musallah yang memang telah disediakan di sekolah itu. Pastinya. Kami adalah orang yang sekali lagi masih berada dalam lingkaran iman. Walau tak setebal iman para kiayi sekondang AAGym, Zainuddin MZ, Jefry, dan juga Gusdur. Buktinya, setelah siap dengan posisi berdiri dan aku telah iqamat, maka entah sengaja atau setan yang memaksanya lewat di depan kami, tiba-tiba seorang melewati pinggir musallah. Musalahnya tak berdinding karena menyatu dengan sebuah ruang kelas. Perempuan pastinya. Dia menggunakan baju biru lengan panjang saat itu. Di bawahnya jeans panjang membalut sampai di lutut. Sedikit ketat. Sebelum dia takbir, dia menoleh kepadaku, tersenyum. Aku membalas senyuman itu walau tak ada sesuatu yang lacu. Dengan segera astagfirullah menyumbar dari mulut kami berdua. Pandangan segera diarahkan ke lantai. Takbir. Akhirnya dimulai juga. Kami shalat dengan sedikit pikiran yang kurang bagus. Setelahnya tak lupa kami berdoa kemudian mebahas makna senyuman tadi. Ternyata sama maknanya. Mungkin juga kawan yang membaca cerpen saya ini. Dari situlah sehingga aku paham bahwa kami berdua memang sehati dan terkadang semakna dalam objek yang sama. Apalagi wanita. Walau dia telah menikah. Aku yang belum. Tapi, sama saja. Menikah hanya persoalan kedewasaan. Pikiran tak mudah untuk berubah. Kenyataan yang selalu mengubah pikiran.
***
Setelah, salat maka kami segera pada posisi semula. Baru saja aku selangkah dari pintu mobil, mataku terpajang pada wajah putih. Walau wajah itu bukan putih alami. Pikiranku mengingat wajah itu. Ikatan rambutnya pun sama. Terkumpul ke belakang dan diikat di bagian tengah sehingga ujung-ujungnya terjungkai ke bawah. Tak jauh beda dengan ekor kuda. Aku teringat bahwa perempuan muda itu bersamaku ketika menuju ke tempat ini. Pun pulangnya mata kami kembali bertemu. Tiada rasa di sana. Hanya saling mengikat bahwa kemarin kita semobil dan malam ini juga sama. Segera aku menuju pada kursi yang sedikit berada di belakangnya. Nomor empat belas kursi saya. Dia sepuluh. Segera setelah duduk kucerikan sesuatu pada K Syawal. Dia dengan daim mendengar. Sesekali keluar suaru mengiyakan bahwa dia paham dan masih mendengar cerita saya. Kuceritakan padanya tentang perempuan itu dan dia hanya tersenyum. Aku kemudian melanjutkan. “Kak, dengan suara berbisik, bagaimana kira-kira ketika saya turun di bandara dan mengatakan pada kita sampai jumpa di Singapura lusa. Pasti perempuan itu sontak agak kaget.” Dengan lantang kak Syawal menjawab, “Iya..ya, dan aku mengatakan besok kan aku masih di Malaysia jadi benarlah lusa kita ketemu di sana.” Dia menmbahkan. Aku tersenyum. Tak terasa mobil berbelok. Aku terhenyak. “Kak, betul kan mobil ke bandara, tapi siapa yang turun ya.” Hatiku mulai bertanya-tanya. Kak Syawal yang dampingku tersenyum. Dalam hatiku moga saja bukan perempuan itu yang turun. Ketika dia, maka betapa bodohnya saya dan pastinya syawal akan menertawakn saya. Mobil segera terparkir di depn jejeran penjual tiket masing-masing maskapai penerbangan. Di depan mobil kami Trnas telah lebih dulu parkir. Dengan segera sang karnet yang sekali lagi sudah paham berteriak, “bandara”. Tak lama kemudian dari belakang turunlah beberapa orang laki-laki. Nyatanya, terakhir perempuan yang memiliki rambut ekor kuda tersebut menyusul paling belakang. Ternyata mereka sekeluarga, hanya berpisah tempat duduk. Tak sama dengan kami yang satu posisi. Syawal segera menatapku diikuti cemooh. Aku paham pikirannya. Perempuan itu segera mendekati line garuda. Pastinya untuk membeli tiket. Sekali lagi kupandang perempuan muda itu untuk memastikan betul dia di di sana. Ya, mataku tak salah, walau lama terlelap semalam. Dia perempuan yang kuceritai tadi. Kak Syawal di sampingku hanya terpingkal-pingkal tanpa henti. Bahkan penonton yang lain agak heran. Toh mereka tak paham. Aku duduk terapku. Mataku menerawang pada langit-langit mobil yang hanya satu warna. Air liurku tertahan di tenggorokan. Nafas tak beraturan. Darah tak mengaliri semua arteriku. Malu. Hanya kata itu yang ada dalam pikiran. Juga hati mengiyakannya walau dengan degupan. “Hah...kenapa aku begitu bodoh menilai diri sendiri dan orang lain.” Syawal masih terpingkal. Bahkan air matanya hampir saja keluar gara-gara tawa. Hanya senyuman kecil yang keluar dari bibirku yang beku. Ternyata bukan aku yang ke Singapura. Tapi, kawan, sabarlah suatu waktu kalian akan membaca cerita saya tentang Singapura. Aku harus ke sana. Entah kapan kawan.


Makassar, 17 Maret 2009

Kontemplasi

TELEVISI DAN PONARI

Masih begitu teringat akan siapa Ponari. Akan kejadian yang menghebohkan di Jombang. Bukan kasus korupsi, juga bukan kasus bencana alam. Pun juga bukan kasus kekerasan, pembunuhan, pencurian, perampokan, dan lain hal yang selama ini menghiasi pertelevisian kita. Tetapi yang hadir adalah dukun cilik yang bernama Ponari. Tetapi itu di Jombang. Kemunculannya begitu membuat kita tercengang. Betapa tidak ribuan orang yang hadir untuk berobat di sana. Mereka sampai berdesakan dan akhirnya ada yang tewas. Bukannya kesembuhan yang mereka peroleh tetapi kematian yang segera mejmeput. Belum lagi si Dewi dan juga St. Romlah yang ketiganya berada di Jombang Jawa Timur. Ketiga orang tersebut melakukan praktik pengobatan dengan menggunakan batu ajaib. Ada yang katanya batu petir, pun muncul kembar batu petir Ponari dan juga batu bertuan yang katanya bisa berbicara. Semuanya diserbu ribuan pasien yang kebanyakan berasal dari masyarakat miskin. Rumah ponari yang begitu sederhana dikerumuni oleh berbagai etnis dan asal daerah yang ingin berobat. Polisi bahkan kewalahan dan kehabisan akal untuk menghentikan praktik pengobatan yang belum bisa diterima secara medis tersebut. Bahkan ada masyarakat yang begitu gila dengan mengambil (maaf) air got, tanah, dan apa saja yang terdapat di sekitar rumah ponari.
Maret 2009, Makassar juga dikejutkan dan bahkan ditantang dengan hadirnya dukun cilik yang masih duduk pada bangku kelas 1 SMP. Dia bernama Randi Wijaya Kusuma. Nama yang lebih modern dibanding dengan nama dukun sebelumnya. Tetapi, itu hanya nama. Perbuatan dan praktiknya sama. Sama-sama mengobati pasien dengan medium sebuah batu. Katanya, batu itu berbentuk bulat lonjong seperti telur dan menghasilkan minyak. Minyak itulah yang dijadikan sebagai bahan pengurut kepada pasien. Sedikit lebih rasional dibandingkan dengan yang hadir sebelumnya. Ponari, dkk di Jombang hanya mencelupkan batu pada air yang sudah dibawa oleh masing-masing pasien. Sedangkan si Randi menjadikan minyak tersebut sebagai alat untuk mengurut pasiennya. Juga dihadiri oleh ratusan orang.
Kekayaan Ponari
Selama 22 hari Ponari praktik dan setelah itu pihak keluarganya meminta untuk segera ditutup. Media memberitakan bahwa kekayaan ponari sudah begitu melimpah. Bayangkan, setiap hari antara 30 sampai 40 juta yang berhasil terkumpul dalam celengan sang dukun cilik. Kawan, kalianlah sendiri dan dapat menghitung hasilnya. Betapa banyak uang yang didapatkan oleh Ponari dari pengobatan irasional tersebut.
Entah untuk Dewi dan St. Romlah. Berapa uang yang mereka berhasil raup dari pengobatannya itu. Suatu hal yang mungkin saja membuat kita miris menyaksikannya.

Peran TV
Kemunculan Ponari dengan berbagi berita yang kontroversial pasti akan membuat orang yang percaya dengan semua itu berpikir. Dengan munculnya dukun cilik tersebut membuat orang berpikir pintas untuk menjadi kaya. Betapa bodohnya orang untuk diperbodoh. Betullah pesan orang tua saya, “Nak di dunia ini hanya orang yang akan diperbodoh yang kurang, yang menginginkan untuk memperbodoh begitu banyak.” Pesannya ketika aku akan meninggalkan kampung halaman. Erat aku pegang pesan itu. Pascapemberitaan kekayaan Ponari maka muncullah si Dewi, si Romlah, dan terakhir muncul di Makassar. Kemunculan semua itu karena peran televisi yang begitu bergairah untuk memunculkan berita yang memiliki pengaruh dari segi mistik yang sangat kuat. Televisi telah begitu besar mengambil peran untuk kebodohan masyarakat. Televisi dengan begitu bebas memperlihatkan apa saja yang ingin diberitakannya. Tidak pernah berpikir tentang dampak dan juga akibat yang akan muncul pascapemberitaan tersebut.
Saat ini, masyarakat Indonesia berada dalam kegamangan. Begitu mudah untuk terpengaruh tentang apa saja. Kehadiran televisi pun dianggap sebagai dewa bagi kebanyakan masyarakat. Tak sah rasanya ketika masyarakat hidup tanpa televisi.
Kami tinggal berharap akan kehadiran sang pengawas dan kekonsistenan dari Komisi Penyiaan Indonesia (KPI). Semuanya tinggal diharapkan dari situ. Peran pemerintah dalam memberikan kontrol pertelevisian untuk kelangsungan kehidupan rasional masyarakat sangat diharapkan. Semoga semuanya bisa berjalan sesuai dengan etika keagamaan, sosial, dan kehidupan toleransi.

Makassar, Maret 2009

Pelajaran Hidup

Pelajaran pertama

Di luar ruangan panas menyengat dan begitu terasa. Panasnya sampai menyilaukan pandangan di dalam ruangan. Cahayanya menyelinap di dinding yang berkusen besi. Sesekali pintu terbuka karena ada orang yang datang. Dengan sigap pak Satpam yang di dadanya bertuliskan nama Syamsul Bahri menyapa setiap pengunjung yang datang. Aku yang sedari tadi menatap tingkah pak Satpam menerawang saja pada masa kehidupan datuk Maringgik. Syamsul Bahri sebagai tokoh utama. Aku berpikir bahwa nama itu diambil oleh ayahnya dari cerita Sumatra tersebut. Betapa terngiangnya cerita itu hingga mereka mengabadikannya menjadi nama seorang anak yang pasti dicintainya. Dan sepengetahuan saya, dari deretan orang yang pernah kutemui dan namanya Syamsul Bahri pastilah perangainya tidak mengecewakan. Walau mereka hanya berprofesi sebagai Satpam tak menyurutkan niatnya untuk berperilaku baik. Toh, siapa sebenarnya yang sering merendahkan profesi Satpam itu. Di bank, satpan dengan setia membuka pintu bagi orang yang datang silah berganti. Hendak kelaur pun kita tidak pernah dibiarkan untuk memegang gagang pintu. Dengan sigap Pak Satpam akan membuka dan menyertai langkah kita dengan senyuman. Bukan main kearifan dati sang Satpam. Sebuah jabatan yang kebanyakan orang mengnggapnya sebagai jabatan rendahan.
Coba Anda pikirkan kalau saja Satpam itu tidak ada. Maksudnya yang saya ceritakan ini adalah Satpam yang memiliki sifat jujur dan jiwa yang bertanggung jawab. Bukan Satpam yang malahan bekerja sama dengan pencuri untuk mencuri harta majikannya. Tetapi, itu hanya segelintir terjadi. Di sinilah kehidupan dan kearifan mesti kita pahami. Seorang membangkang dan berbuat sesuatu yang lain dari apa yang diperintahkan oleh ‘bosnya’ adalah kerana merasa tidak nyaman dalam kehidupan yang dijalaninya. Artinya, seseorang yang mempekerjakan seorang Satpam mestinya paham bahwa profesi itu sangat penting. Sama pentingnya dengan profesi yang lain. Misalnya saja kepala pemasaran, kepala administrasi, dan bahkan jabatan sekaliber diretur pun. Apapun profesi dalam sebuah kinerja yang membutuhkan kelompok, maka kita harus saling menghargai dan memahami bahwa posisi yang kita duduki adalah sebuah posisi yang sama dalam kinerja tersebut. Hanya persoalan objek pekerjaan yang berbeda.
Ketika seorang Satpam misalnya, tidak hadir dalam sebuah perusahaan yang membutuhkan pengamanan dan penjagaan, maka bagaimana kekhawatiran besar yang akan terjadi pada pemilik perusahaan. Mungkin saja dari delapan jam waktunya yang mestinya dia gunakan untuk tidur akan terkorting selama empat jam hanya untuk mengawasi perusahannya. Belum lagi ketika dia terbaring di atas springbed yang bermerek ‘king koil’ tak akan tenag karena pikirnannya akan mengingat keberadaan perusahannay.
Kita mesti paham dalam pelajaran hidup nomor satu bahwa sesungguhnya apapun posisi kita dan posisi seseorang dalam sebuah medan pekerjaan—pekerjaan apapun itu—kita mesti paham bahwa semuanya berada pada level dan tanggung jawab yang sama. Ketika hal ini terjadi dalam hidup kita, maka yakin saja bahwa dimana pun kita bekerja akan memberikan kenyamanan bagi diri sendiri dan pastinya juga untuk orang lain.


Makasar, 10 Maret 2009

Cerita

Menikah

Entah kenapa pernikahan itu menjadi suatu yang diinginkan oleh semua orang. Seberapa enaknyakah pernikahan itu. Telah banyak orang yang aku temui dan menanyakannya tentang pernikahan. Sembilan puluh persen dari mereka menjawab bahwa pernikahan adalah sesuatu yang mengasyikkan. Tetapi ketika aku melanjutkan untuk mempertanyakan keasyikannya, tak banyak diantara mereka yang mampu untuk mengungkapkannya. Sebagain yang lain mengatakan tidak cukup kata untuk merangkai semua yang kita dapatkan. Aku hanya terheran sendiri.
###
Siang itu, aku baru saja pulang dari sekolah. Mengajar tentunya. Suatu rutinitas yang setiap hari saya lakukan. Terkadang menjemukan, tetapi lebih banyak mengasyikkan. Belum lagi ketika awal bulan telah tiba, maka keasyikan itu semakin menggunung. Seperti biasa aku begitu suka membaca koran Kompas di dalam kamar sambil sesekali melihat-lihat dua ekor ikan yang aku pelihara dalam akuarium. Maklum, aku begitu mencintai binatang. Koran yang kubaca, kompas tentunya. Kulihat judul besar disana “Suami bakar istri”. Aku tiba-tiba terperanjak. Kulupakan berita-berita politik yang semakin hangat. Kulirik dan kulototi berita tentang suami istri tersebut. Kupandang dengan semakin jelas. Tidakkah saya salah membaca judul. Ah,…tetapi mataku belum begitu rabun dengan tulisan sebesar itu. Dengan segera kutelusuri isi berita, dan ternyata benar. Di Jawa, tidak usah kusebutkan nama daerahnya, seorang suami begitu tega membakar istri hanya karena alasan ekonomi. Ketidakmampuan sang suami memberikan nafkah lahir kepada sang istri setiap harinya. Begitu dangkalkah pemikiran sang suami atau itukah sebagian dari kenikmatan pasangan suami istri?
Keeseokan harinya, masih pada koran yang sama kutemukan berita tentang seorang tentara yang membunuh istrinya. Tapi, masalahnya lain. Tentara membunuh istrinya karena dia kedapatan selingkuh. Sudah terbukti bersalah, malah nekat lagi untuk membunuh istrinya sendiri. Tentara itu aparat negara! Atau karena begitu setianyakah mereka kepada negara sehingga istri merekapun menjadi sesuatu persoalan kecil untuk dia bunuh? Masalahnya tidak di situ kawan. Istri ada karena proses pernikahan. Pernikahan yang disakralkan. Dilandasi dengan perasaan cinta. Belum lagi diawali dengan pertunangan yang begitu indah. Kembali aku berpikir bahwa mungkin itulah sebagian dari kenikmatan perkawinan.
Aku menulis cerita ini karena tahun ini aku juga akan dinikahkan. Lebih jelasnya juga sudah ingin menikah. Baru sebuah rencana. Tetapi, aku sangat yakin dengan rencana itu. Aku terus berpikir untuk menjadikan sebuah pernikahan menjadi suatu yang sakral untuk selamanya. Bukan hanya dalam proses ijab kabul sampai berbulan madu. Tentunya di dalamnya adalah malam pertama. Ehhh…aku tahu pikiran kalian. Aku berharap bahwa yang kudapatkan adalah pasangan dalam hidup seumur hidup. Pasangan yang dapat menjadikan hubungan kita sebagai sesuatu yang indah. Pasangan yang terhindar dari hal-hal yang negatif. Apapun itu. Aku yakin, semuanya telah diatur oleh Tuhan. Pun aku yakin bahwa Tuhan Mahaadil akan semuanya. Tuhan, doaku ketika tahun ini memang betul sebagai tahun di mana Engkau mempertemukan antara aku dengan jodoh yang engkau kehendaki, maka jadikanlah kami sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Jadikanlah kami sebagai pasangan yang akan senantiasa berada di jalanmu. Jadikanlah keturunan kami sebagai keturunan yang berbakti dalam menjalankan perintahmu, kepada kami, juga kepada seluruh umat manusia.

Kamarku, SY 09 Maret Pagi 2009

Renungan

Lagi-lagi Obama

Baru saja dua bulan Obama dilantik. Ya, Januari lalu jutaan orang memadati acara pelantikannya. Tamu dari berbagai negara pun berdatangan untuk menyaksikan catatan sejarah dunia tersebut. Tak lepas pula kaum masyarakat lemah yang begitu antusias untuk menyaksikan pelantikan tersebut walau harus terhalang dan mengurungkan niatnya karena mereka tidak mendapatkan tiket dan memang ‘tidak layak’ untuk menyaksikan perhelatan tersebut. Al hasil panitia pelantikan menyiapkan layar lebar di setiap sudut sehingga semua orang yang hadir dapat menyaksikan peristiwa tersebut walau lewat layar.

Ketokohan obama
Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat berbahagia dan juga berbangga atas pelantikan obama. Presiden SBY pun menyampaikan pidato untuk mengucapkan selamat kepadanya. Café-café di Jakarta memasang latar dan suasana yang sangat hangat tentang Obama. Bahkan di SD Menteng sebagai tempat dimana Obama menimba ilmu Sekolah Dasarnya, juga diadakan acara khusus untuk merayakan pelantikannya tersebut

Obama sekarang
Dunia seakan tak akan melupakan Obama dan peristiwa yang dijalaninya. Di Indonesia, di toko-toko buku, dengan mudah kami mendapatkan buku yang membahas tentang Obama. Entah karena ketokohannya, perjuangannya, cita-citanya, dan bahkan kontroversi agamanya. Semuanya dengan warna dan judul yang berbeda-beda. Pun dengan harga yang bervariasi dan cenderung agak istimewa.
Sebulan lagi tepatnya sembilan April Indonesia akan melakukan perhelatan akbar yang menghabiskan dana triliunan rupiah untuk memilih para wakil rakyat. Saat ini adalah saat kampanye. Di mana Obama lagi-lagi menjai ikon yang seakan digunakan untuk meraup suara bagi para caleg atau partai kontestan pemilu. Ada yang memasang Obama tepat berdampingan dengannya. Ada pula yang sekadar meniru foto Obama. Bahkan ada yang terlihat sambil jabat tangan dengan Obama. Di sudut lain seorang caleg sedang berangkulan dengannya. Padahal semua itu hanya permainan animasi dalam komputer. Tak satu pun caleg yang memasang Obama dalam balighonya pernah bertemu langsung dengan presiden ke-44 Amerika tersebut. Sekali lagi, karena ketokohannya dan kemampuannya untuk meraup kemenangan besar di pemIlu Presiden Amerika bulan Desember lalu.

Obama dalam iklan
Lain lagi cerita yang terjadi dalam dunia periklanan. Iklan sebagai sebuah cara yang dianggap paling tepat untuk memperkenalkan produk. Bisa melalui Koran, majalah atau radio. Tetapi, yang paling dianggap efektif adalah beriklan melalui media elektronik berupa TV. Televisi yang telah membenak dalam kehidupan masyarakat Indonesia mampu untuk menjadi jalan memperkenalkan produk dengan jalan yang sangat efektif. Peluang berhasilnya iklan tersebut sangat besar. Apatahlagi jika iklan yang dibuat oleh masing-masing podusen mampu untuk memanifulasi pikiran penonton sehingga kehadirannya selalu ditunggu. Tak bisa dipungkiri bahwa ketika kita menonton televisi dan iklan segera datang, maka dengan cepat remot akan memencet perpindahan stasiun yang tidak sedang beriklan. Tentu saja ini bisa merugikan media iklan. Tetapi jika iklan tersebut selalu teringat oleh kita dan bahkan siaran dimana iklan tersebut diputar, maka kehadirannya akan ditunggu oleh masyarakat.
Sebuah iklan kerupuk yang menampilkan seorang ibu dengan anaknya adalah salah satu yang menyita perhatian. Di sana kita lihat seorang balita berteriak Obama dengan bahasa sendiri sebagai anak-anak. Anda bisa membayangkannya. Ibu anak tersebut terkejut karena dia menganggap bahwa anaknya memanggilnya dengan mengatakan omama. Dia begitu heran karena anaknya tidak berlari ke arahnya. Melainkan berlari ke Obama. Dalam iklan tersebut bukanlah wajah asli Obama tetapi seorang asli Indonesia yang hanya memiliki muka yang agak mirip. Hanya agak mirip. Hoki orang tersebut tidak berhenti sampai di situ. Iklan minyak goreng merk Sanco juga menjadikannya sebagai ikon. Lagi-lagi gaya bahasanya mirip dengan Obama. Berselang beberapa menit, ketika saya mengganti stasiun televisi juga sedang beriklan. Betapa kagetnya saya ketika wajah yang ada pada iklan krupuk, dan minyak goreng tersebut juga kembali muncul. Dengan wajah, cukur, dan pakaian yang sama. Tetapi yang dia iklankan berbeda. Kali ini dia memerankan diri sebagai Obama yang sedang berada di luar negeri. Kemudian orang-orang dikampungnya meneleponnya dengan begitu serius. Saling bergantian orang-orang meneleponnya. Sesekali terlihat dalam layat televisi terbagi dua dengan wajah yang berbeda saling bercerita dalam telepon. Satu tujuan menelepon orang yang mirip Obama tersebut. Akhir dari iklan tersebut muncullah tulisan Simpati Pede. Lagi-lagi Obama. Saya kemudian tersenyum sambil memikirkan bagaimana ketika iklan tersebut dilihat oleh Obama presiden ke-44 Amerika Serikat. Mungkinkah dia akan jengkel karena namanya dikomersialkan. Mungkinkah dia merasa bangga karena ternyata banyak orang yang mengaguminya dan terpengaruh dengan dirinya. Atau mungkin dia akan menertawai kita karena kita begitu membanggakannya sementara kita hanya tetap berjalan di tempat. Semoga tidak kawan.



Kamarku, SY, 08 Maret 2009

Jumat, 06 Maret 2009

सर्पं

Gegap

Malam belum begitu terasa. Aku baru saja pulang dari sebuah pusat perbelanjaan. Pun baru saja menjengut ibu kos teman saya yang baru saja mengeluarkan beban yang selama ini berada dalam perutnya. Beban yang membuahkan kebahagiaan. Beban yang telah disandangnya selama sembilan bulan akhirnya keluar melalui proses yang mendebarkan. Bukan saja dirinya yang berdebar. Suami, kecil, tinggi, rambut agak lembut begitu setia menemani meringankan beban yang selama ini dibawahnya. Toh, beban itu diakibatkan oleh sang suami tercinta. Perlakuannya dalam masa-masa yang mengasyikkan juga akhirnya membuahkan suatu kebahagiaan dan keasyikan tersendiri. Itulah hakikat suami istri. Di antara kemesraannya harus hadir orang ketiga yang akan semakin merekatkan kemesraan itu. Aku masih samar-samar mengingat ketika aku masih kecil dulu. Saat itu ibuku menggendongku dengan manja. Terkadang dia berusa meninabobokkanku walau aku masih juga belum ingin memejamkan mata. Tiba-tiba pintu belakang berbunyi. Bunyi yang berarti ada orang yang sengaja mendorongnya. Tak lama masuklah ayah dengan kepalanya yang tidak rata ditumbuhi rambut. Mungkin karena dia begitu banyak menanggung beban pikiran untuk ibu dan pastinya juga untuk saya. Dengan segera dia mendekap ibu dari belakang dan ibu pun membalasnya dengan senyuman. Ibu seakan mencurigaiku lalu dengan erat memelukku dan ayah yang juga begitu rindu denganku juga ingin mencium kening masih lembut tanpa jerawat dan juga tanpa biang keringat. Akhirnya bukan pipi saya yang tersentuh oleh ciuman mereka, tetapi bibir mereklah yang saling mengecup dengan menggunakan medium muka saya. Ayah dengan segera menarik kepalanya dan memegang ubun-ubun saya. Tingkahnya agak aneh. Mungkin sedikit malu, tapi entah kepada saya, kepada ibu, atau hanya kepada dirinya sendiri. Ibu hanya tersenyum sipu sambil menahan suara yang sebenarnya ingin keluar. Sementara aku asih dalam gendongan belum mengerti semuanya. Baru ketika tulisan ini aku goreskan baulah merasa bahwa ternyata begitu berartinya kasih sayang.
***
Tiba-tiba saya teringat bahwa pepsoden di rumah telah habis. Walau aku tinggal bersama saudara, aku paham bahwa bukan dia yang mesti menanggung semuanya. Perempuan yang ikut denganku dalam boncengan saya juga pasti memiliki keperluan. Sedikit kawan, bahwa selama ini saya sering makan, minum, dan juga beristirahat di rumahnya. Baju, celanaku pun tak pernah lagi aku yang cuci, kecuali celana yang sensitif itu. Akhirnya aku singgah saja pada tempat berbelanjaan yang begitu ramai. Pastinya karena harganya murah. Juga pastinya bukan barang-barang mewah. Tapi itulah takaran masyarakat umum di Indonesia selama ini. Aku juga tergabung di dalamnya. Kuparkir motor yang juga gratis kemudian kutitip pakaian yang sekali lagi pun gratis, dan kami melangkahkan kaki ke lantai dua. Maklum pepsoden itu bertengger pada rak yang letaknya di lantai dua sudut belakang. Sudah begitu kuhafal, begitu hafalnya saya terhadap wajah kekasihku.
***
Mata yang sudah diperhadapkan dengan berbagai bayangan-bayangan makanan tidak lagi terfokus pada pepsoden yang sedari awal kurencanakan. Perempuan yang kutemani pun agaknya paham dan tidak menyia-nyiakan waktu ini. Segera saja dia sambar keranjang berwarna biru di sampinya. Warna biru telah melekat dalam di benaknya. Semuanya harus serba biru. Pun kalau barangnya tidak ada dan waktu telah mendesak maka kuning adalah gantinya. Itupun diawali dengan omelan-omelan tajam yang sudah begitu lazim di telingan saya. Segera kuambil indo mie goreng, seakan aku paham maksudnya mengambil keranjang. Dia pasang keranjangnya dan slep, segera masuklah indo mie tersebut yang disertai dengan senyuman. Baru beberapa langkah kulihat kaleng cokelat penjaga stamina. Kuambil dua kaleng sebagai kebiasaan kami sebelumnya. Di sampingnya tumpukan Milo yang telah di plaster ukuran lima satu ikatan dengan harga Rp 4250 kuambil. Jumlahnya dua. Maklum di luar jualannya seharga seribu per bungkus. Sedikit lebih untung. Kami pun kemudian menuju rak bumbu dapur. Kulihat botol dengan berjejer di sana. Walau botolnya putih, yang tampak adalah jejeran hitam pekat di sana. ABC mereknya kawan. Kuambil satu dan....kawan inilah yang paling mendebarkanku. Lebih mendebarkan daripada proses persalinan ibu kos teman dekatku tadi. Lebih bagus kalau kuakui bahwa dia kekasihku. Juga tak kalah mendebarkannya ketika bibir ayah bertemu dengan bibir ibu di atas atas wajah saya yang belum mengerti apa-apa. Tanganku yang masih bertengger pada rak juga terdiam di sana. Mataku yang terfokus pada merek kecap tersebut juga semakin berbinar. Tetapi binarannya tidaklah semakin memperjelas tulisan tersebut. Telingaku yang sedari tadi asyik dengan musik pengiring pusat pembelanjaan tiba-tiba beralih funsi. Musik yang memutar lagu “jangan tinggalkan aku” pun tiba-tiba menghilang dalam pendengaran. Bukan karena dimatikan, tetapi karena fungsi telinga yang berubah. Dari ujung rak aku mendengar suara yang menyebutkan namaku. Suara itu pun bukan suara yang tak lazim. Tak mungkin aku tak mengenal suara itu. Pasti dia orang yang selama ini paling kuhargai setelah ibuku. Kawan, sedikit kuinformasikan, ayahku telah meninggal beberapa tahun lalu. Ya, betul dia adalah laki-laki yang selama ini selalu memperhatikanku. Memberikan semangat yang melebihi dari segalanya sehingga aku bisa berhasil pada dua departemen untuk menjadi pegawai negeri. Pekerjaan yang begitu terhormat di negeri ini. Dan itu dianut oleh banyak orang. Tentunya aku pun bahagia.
“Armin” nama itu merasuk dalam telingaku. Kueja nama itu dalam pikiran dan hati membantahnya. Tidak perlu lama-lama untuk mengejanya, namakulah yang dipanggil. Aku pun berbalik dan sontak saja mataku pas bertemu dengan matanya. Dia tersenyum, senyumnya seolah bermakna bahwa nah sekarang kamu tak bisa mengelak lagi. Aku juga tersenyum. Namun, senyum saya berbeda maknanya. Raut wajah saya kaku. Darah seakan berhenti mengalir. Kutanya engkau kawan, apakah yang menyebabkan semua ini? Perempuan yang mengikut di belakangku juga kaku. Tapi, tak banyak. Tidak sama denganku. Dia mungkin belum tahu siapa sebenarnya orang yang di depan kami tersebut. Dengan segera dia menyalami saya. Katanya yang terlontar hanya satu, “Itumi” (dalam bahasa Makassar). Aku paham bahwa yang dia maksudkan adalah itukah calon istrimu? Aku masih gugup, tetapi kuyakinkan diri sejenak dan segera kujawab, “Iya”. Dia tersenyum sambil melepaskan tanganku. Perempuan yang kutemani pun disapa dengan salam dan jabatan tangan. Dengan segera kualihkan pembicaraan mengenai tugas istrinya. Untunglah dia juga segera melanjutkannya. Mungkin karena ini adalah kepentingannya. Setelah itu kuambil gerak berbalik dan kuberi kode pada perempuan yang disampingku. kuperkenalkan namanya Inar. Lebih lengkapnya Hasdinar. Setahun lalu juga sudah menamatkan pendidikannya di jurusan Fisika. Dia masih belum tahu siapa laki-laki itu. Setelah berbalik di balik rak kusampaikan padanya bahwa itu adalah om saya yang akan mewakili untuk melamarmu nanti. Dia terperanjak sekaligus tersenyum. Aku paham makna senyumannya. Mungkin juga engkau kawan.


Makassar, 06 Maret 2009

Kontemplasi

YANG DINANTI
Tepat malam tanggal 14 Februari. Banyak orang mengatakannya malam itu adalah malam valentine. Aku hanya sering mendengar istilah itu di televisI atau membacanya di Koran lokal dan nasional. Terutama menjelang dirayakannya hari tersebut. Ya, sekadar membacanya. Tetapi, suatu kali aku juga pernah membaca sekilas sejarah hari kasih sayang tersebut. Nama lain untuk valentine. Sebenarnya nama valentine itu diambil dari nama seorang panglima perang masa silam. Saat itu seorang panglima perang dilarang untuk menikah. Alasannya, dengan menikah dan pasti melakukan persanggamaan akan mengurangi kekuatan sang panglima perang. Sesuatu yang sangat ditakutkan pada zaman tersebut. Akhirnya, karena ketahuan oleh sang raja, maka dia pun dibunuh. Dari situlah mulai banyak orang yang bersimpati kepadanya dan orang selalu memperingati hari dibunuhnya panglima tersebut. Berkembanglah menjadi sebuah perubahan hari kasih sayang.
Pun sejarh ini tersebar dengan cepat dan termasuk menghinggapi manusia Indonesia yang begitu cepat menerima segala hal perubahan. Entah positif atau negatif. Dari sekian sahabat dan teman yang aku tanya, mereka tidak pernah alpa dari pesta kasih sayang tersebut. Tetapi, anehnya, mereka memaknai sangat dangkal dari hari tersebut. Memaknainya bahwa hari yang paling sering dirayakan pada malam sebelum harinya datang, adalah sebuah peringatan yang harus dirayakan dengan pasangan hidup. Entah dia suami-istri ataupun pasangan sejoli yang lagi dimabuk asmara kemunafikan. Toh, yang paling banyak merayakan pesta tersebut adalah mereka yang masih dalam status pacaran. Pun merayakannya dengan pemaknaan yang dangkal.
Malam itu, aku sedang bersama kawan-kawan lembaga—maklum aku masih sering menghadiri acara seperti itu walau sudah setahun meninggalkan kampus—di sebuah pantai Makassar. Jam pada handpohoneku telah berada pada angka 03.00 Wita. Malam yang telah larut. Bahkan sebentar lagi, matahari pasti akan datang mengusir bulan yang memang tak berani tampil malam itu. Di sekeliling aku melihat tak begitu ramai. Juga tak begitu sepi. Yang kulihat pastilah pasangan laki dan perempuan yang lalu lalang di hadapan, di samping, dan di belakang kami. Aku baru teringat bahwa malam itu adalah malam kasih sayang. Malam yang juga menjelma menjadi malam hilangnya keperawanan bagi banyak perempuan di dunia ini. Tak ketinggalan Indonesia dan Makassar khususnya pasti sama dengan semua itu. Di sisi lain, pada sebuah pohon pisang dan patahan kayu-kayu besar yang terdampar di pinggir pantai—maklum pantai itu bukanlah tempat rekreasi, ditambah hujan yang datang mengguyur kota tersebut menyebabkan sampah berserakan di mana-mana, termasuk laut—juga tak luput dari pasangan muda-mudi. Mereka duduk di atas patahan kayu dan pohon pisang tersebut. Terkadang sesekali sambil merangkul dan bahkan sambil mencumbu dalam kenikmatan tiada tara. Kenikmatan yang terbungkus oleh kemunafikan. Meraka tak peduli siapa yang lewat di sekitarnya. Toh mereka tahu bahwa siapa yang datang malam itu pastilah memiliki tujuan yang sama. Juga tak perlu diragukan pikiran yang sama.
Belum lagi malam kasih sayang yang dirayakan pada gedung-gedung tinggi dan mewah di kota ini. Bahkan hotel dan kafe modern lainnya menghadirkan artis papan atas hanya untuk menspesialkan malam tersebut. Bahkan, katanya sudah menjalar juga lelang pasangan untuk ditemani berkasih dalam semalam. Hal ini tidak perlu ditanyakan ketika di luar negeri. Saya menyinggngunya karena kita –Indonesia—adalah Negara berpenduduk islam terbesar di dunia.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Ternyata sms dari teman lama yang telah berada di luar kota. Setahun lamanaya aku tak pernah bersua dengannya. Dengan sigap kubuka handphoneku. Aku membacanya kata demi kata. Ternyata ada juga yang mengirimkan selamat valentine untukku. Aku hanya membalas sms itu dengan senyum kekeh.”he..he..23 kali”. Segera kukirim. Dia marah dan memakiku. Katanya aku tak mengerti tentang hari kasih sayang. “jadilah orang yang cepat tua” katanya dalam balasan SMS. Aku memutuskan untuk tidak membalas lagi SMS itu. Kututup handphone ku dan kulanjutkan cerita dengan teman. Tetapi kata-kata teman dalam SMS tadi masih membekas. Betulkah aku seperti itu.
Dalam hati, aku yakin bahwa wanita mana di Makassar ini yang tidak mau denganku. Sudah kujalani beberapa bulan semasa kuliah hidup yang seperti itu. Semunaya hanya kemunafikan. Kenikmatan sesaat. Kenikmatan yang berbuah penyesalan. Apalagi malam valentine. semuanya hanya sia-sia. Toh, kasih sayang yang diberikan hanyalah kasih sayang semu. Kasih sayang yang membutuhkan materi dan balasan kenikmatan sesaat. Ditambah dengan dosa yang mendalam dan lebih berbahaya. Akan mengantarkan pada kenikmatan neraka.
Aku hanya terus berjuang untuk memperingatkan kawan-kawan agar tidak dalam keterpengaruhan kasih sayang ini. Di sisi lain, aku melihat banyak anak-anak dengan wajah kusut dan pakaian compang-camping tertidur pulas pada halte yang kotor. Halte yang tak lagi digunakan untuk menunggu kendaraan yang sering terlambat datangnya. Dimana sebenarnya pemaknaan kasih sayang tersebut. Kenapa bukan orang yang seperti itu tempat untuk mencurahkan kasih sayang. Ataukah mereka memang tak pantas untuk dikasihani. Untuk diberi kasih sayang. Hanya karena ada rasa yang terdorong oleh nafsu yang membuat mereka saling mengasihi. Saling menyayangi.
Merekalah yang sepantasnya tercurahkan kasih sayang. Sehingga pemahaman kasih sayang yang sifatnya luas mampu untuk dimaknai dan diterapkan dalam hidup yang mesra. Kesejahteraan akan terjamin tercipta dengan pemahaman kasih sayang yang sebenarnya. Kasih sayang orang kaya kepada orang miskin. Kasih sayang orang tua kepada anaknya. Kasih sayang suami kepada istrinya, begitupun sebaliknya. Yang terpenting kasih sayang pemerintah untuk rakyatnya.

Makassar, 20 Februari 2009

Kontemplasi

Saatnya tiba !!!

Empat puluh tahun bertatambah dua bulan perempuan itu mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Dia begitu gigih menghadapi siswanya yang tak pernah genap berjumlah lima puluh orang. Apalagi lebih, semua itu hanyalah angan-angan.
Tiap pagi dia harus menghadapi siswa yang begitu bersemangat untuk mampu mengeja a sampai z dan merangkainya menjadi kata-kata yang mungkin saja lucu baginya. Sekolah itu bernama Madrasah Ibtidaiyah Swasta Tuhoi. Kehadirannya berada di bawah naungan Al Maarif. Entah yayasan apa itu. Sepuluh tahun sudah saya meninggalkan sekolah itu, dan bahkan sekarang saya telah menjadi pegawai negeri yang juga pengajar di tingkat SMA, namun aku belum tahu asal usul dan keberadaan yayasan tersebut.
Sekolahnya berdiri pada sebidang tanah yang tak kalah luasnya dari seperdua lapangan bola yang tak pernah digunakan untuk bertanding. Artinya tidak memiliki standar ukuran untuk sebuah lapangan bola. Disitulah stiap hari perempuan itu mengeja dan menjumlahkan serta mengajar para muridnya untuk mengaji. Belum lagi pelajaran agama berupa quran hadits, fikih serta satu tambahan mata pelajaran yang juga mungkin menguntungkan sang guru. Bergantian untuk mencangkul ketika jam istrahat tiba. Enam cangkul tersusun rapi pada sudut skolah. Maklum, sekolah itu berdiri pada tanah yang diwakafkan olehnya sendiri. Sungguh luar biasa aura kehormatan dan keihlasan sang guru. Sembilan tahun perempuan ini mesti bolak-balik dari kelas satu sampai kelas enam dan kembali ke kelas satu. Hal ini mesti dia kerjakan setelah suaminya yang juga guru meninggalkannya untuk selamanya. Jangan tanya kenapa tidak mencari saja guru honor untuk membantunya. Sampai akhir ketika dia diberikan SK pensiun, penerangan, deru mobil, dan penjual pakaian yang pasti kebanyakan bekas atau lebih dikenal dengan nama cakar tak pernah dia rasakan hadir di tempatnya mengajar. Pun akhir pensiunnya hadirlah sinyal dari Telkomsel dan Indosat. Mungkin karena sinyal ini hanya melayang di udara jadi juga sempat melewati wilayahnya walau sebenarnya bukan diperuntukkan untuk daerah tersebut.
Enam tahun sebelum masa pensiunnya tiba, barulah putranya seorang laki-laki jebolan IAIN yang sekarang berevolusi menjadi UIN melanjutkan pengabdiannya. Pun dia hanya berdua. Walau sedikit meringankan bebannya yang dari enam kelas ditanganinya sendiri menjadi tiga kelas. Sedikit meringankan. Sebuah pengabdian yang tak terkira nilainya. Untunglah siswa dan orang tua yang memiliki anak untuk disekolahkan di sekolah tersebut juga paham akan arti pengorabanan dan kasih sayang serta balas jasa. Walau mereka juga tak pernah duduk pada bangku sekolah. Sang guru tak perlu berjalan 40 km pergi pulang hanya untuk membeli dua ekor ikan cakalang yang cukup untuk dimakan empat hari. Dia tinggallah menitip uang dan menyebutkan apa yang akan dipesannya. Minyak tanah tak perlu. Sayur pun tak butuh. Maksudnya untuk dibeli di pasar. Orang tua sang murid paham. Pun murid seperti itu. Mereka selalu mengambil kayu di sekitar sekolah tatkala jam pulang telah tiba. Bukan untuk dibawa sampai di rumahnya. Bahkan dirumahnya ibu mereka baru mencari kayu ketika menjelang memasak. Kayu itu singgah di kolong rumah gurunya, sehingga di sana terlihat barisan kayu yang siap untuk digunakan memasak berjejer mengiringi tiang yang tak pernah lapuk karena terbuat dari pohon sappu (kayu khas daerah tersebut yang dipercaya sangat kuat).
Pun sayur begitu adanya. Dia begitu rajin menanami sekitar sekolah yang telah dicangkul oleh siswa dengan kacang panjang diselingi buncis. Tak pernah tunggu sampai kering untuk memanennya. Hanya menunggu setiap muncul daun baru untuk dijadikan sayur. Juga ditambah dengan keseringan orang tua siswa menyinggahkan secangkir isi bencis serta daun ubi yang mereka ambil dari kebun mereka. Di belakang rumah dekat tempat pembuangan hajat juga dengan subur tumbuh serumpun bambu yang setiap tahun menyuguhkan rebung yang begitu enak dan menyehatkan. Kemorenan sangat jauh dari dunianya.,
Tetapi kini usianya sudah melebihi batas pengabdian seorang Pegawai Negeri Sipil. Padahal dia tak pernah merencanakan untuk pensiun. Bukan karena gaji yang dia takutkan untuk berkurang. Karena begitu emosinya telah sangat erat dengan kehidupan siswa dan lingkungannya. Bahkan sampai SK berada di tangannya pun dia masih setia mengajar dan juga selebihnya. Sedikit untuk meringankan pekerjaan anaknya sendiri yang akan melanjutkan pengabdian itu. Juga sendiri. Tak ada seorang pun yang layak untuk dijadikan pengajar suka rela demi membantunya. Prinsip masyarakat sangat simpel. Hanya berharap semua anaknya mampu untuk menulis dan membaca. Setelah itu, kemudian ke Makassar bergabung dengan keluarga mereka yang telah lebih dulu berada di tempat itu untuk bergabung membantu orang-orang cina. Pasti dengan gaji yang tidak mencapai UMR. Tapi itulah kenyatan yang membanggakan bagi meraka.
Semoga pengabdiannya mendapat tempat dalam sisi yang mengagumkan. Panjang umur teriring doaku sebagai anak juga sebagai muridnya yang menurut orang telah berhasil.


Muhajirin, 01 maret 2009