Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan

Sekolah dan Kemanusiaan

Entah mengapa pagi ini koran kompas begitu cepat kedengaran menyentuh pintu depan. Biasanya juga, aku sudah melangkahkan kaki menuju tempat kerja, koran itu belum juga datang. Hari ini, kedatangannya betul-betul cepat. Mungkin karena pengantarnya yang berganti atau mungkin karena dia ingin menyenangkan saya yang selalu dia antarakan dengan waktu yang tak jelas.
Makanya pagi ini pula, kusempatkan diri untuk membaca beberapa bagian dari koran tersebut sebelum aku berangkat kerja. Mumpung, karena baru kali ini aku menemukan koran datang pada jam kerja. Hari yang sering aku temukan koran datang ketika saya ada di rumah hanya sabtu dengan ahad. Itu pun bukan waktu yang pagi. Semuanya di atas pukul delapan bahkan terkadang waktunya tidak jelas. Yang jelas, hari ini aku bersyukur. Semoga esok-esok pun seperti itu.
Lembar demi lembar aku buka. Aku malas melihat halaman utama yang hanya memberitakan info terbaru kampanye yang sudah berakhir. Kita akan berada pada Minggu tenang, katanya. Walau bukti yang ada kita makin terusik dengan kedatangan mereka ke rumah-rumah sambil membawa barang-barang tertentu yang disertai dengan kartu nama. Tentu kartu nama caleg. Sekali lagi pameo banyak tetangga, “Ambil uangnya, jangan pilih calegnya.”
Makanya tak kubaca halaman pertama koran itu. Kubuka pada lembar berikutnya dan ternyata juga masih berita tentang parpol. Kulangkahi lagi, sampai beberapa halaman dan aku terhenti pada berita humaniora. Kubaca, dan kukernyutkan sedikit kening. Dengan judul serta ilustrasi gambarnya kupaham bahwa pastinya berita setengah halaman ini berbicara tentang pendidikan. Kutelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf pertama terlewatkan. Aku melirik jam yang berada di dinding. Di sana terlihat sudah pukul 07. 05. untunglah, senin karena upacara maka saya masuk pukul 07. 45. saya begitu malas untuk mengikuti upacara. Rutinitas yang menoton dan itu itu terus. Kulanjutkan pembacaanku pada paragraf berikutnya. Aku semakin tertarik. Tulisan itu berbicara tentang sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Alam di Semarang. Luas lahannya kurang lebih 2 hektar. Sebuah wilayah yang pastinya agak luas untuk ukuran sebuah sekolah. Dua hektar wilayah tersebut tidak digunduli. Para pengelola sekolah malah membuat sebuah rumah-rumah panggung di tengah wilayah. Dibiarkannya rumah panggung itu tak berdinding. Atapnya pun terbuat dari ilalang yang telah dikeringkan.
Ternyata pelopor dari pendidikan yang menjadikan alam sebagai media pembelajaran tersebut bernama.......cita-citanya murni sebuah sistem pendidikan masa depan yang menginginkan seluruh potensi siswa lokal Indonesia tergali sesuai dengan kemampuan dan apa yang kita miliki. “Mengapa kita mesti mencontoh sistem sekolah negara lain, padahal kita mampu untuk menciptakan sistem yang sesuai dengan kondisi kita, dan wah ternyata hasilnya tak kalah dengan mereka.” Ungkapnya dalam koran tersebut.
Artinya, di Indonesia Dinas Pendidikan mestinya lebih berfikir untuk sebuah masa depan kita. Kita semua sepakat bahwa sekolah adalah elemen paling penting dalam negara ini. Sekolah menjadi media untuk mencerdaskan bangsa dan menghasilkan generasi yang akan melanjutkan pembangunan serta menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Lalu apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Anggaran dunia pendidikan kita sekarang sudah mencapai amanat undang-undang dalam APBN yaitu sebesar 20 persen. Lalu, apanya yang kurang. Kurang cerdas, atau kurang kompetenkah guru yang mengajar di negeri ini. Ah, sudahlah. Sebuah harapan tinggallah harapan. Sebuah keinginan tinggal keinginan. Sebuah kemauan tinggallah kemauan.
Semuanya mesti berada pada wilayah kesadaran kita masing-masing. Kita harus bertanya, mengapa pengembangan dunia pendidikan lebih aktif terjadi pada sekolah-sekolah swasta dan juga nonformal. Padahal mereka menggunakan dana yang bukan berasal dari negara. Toh, ketika ada bantuan dari negara, itu hanyalah sebuah bantuan yang sangat sedikit membantu.
Kita mesti paham untuk menyelesaikan secara bersama. Potensi yang ada pada diri siswa Indonesia sebenarnya sangat besar. Tak kalah dengan apa yang dimiliki oleh negara lain. Tetapi, mengapa kemarin Korea berhasil meluncurkan satelitnya (pengakuan mereka) sementara kita masih menjadi penonton yang melototi semua itu.
Kita pasti bisa, semua pasti bisa. Bekerjasamalah untuk sebuah perubahan masa depan bangsa.


Makasar, 06 April 2009

Kasian

Percakapan Pohon

Baru saja kemarin (06/07/09) dinyatakan bahwa putaran pemilu telah memasuki Minggu tenang. Minggu di mana semua atribut dan kegiatan kampanye harus dihentikan. Kita semua melihat jalan-jalan raya yang sebelumnya dipenuhi dengan atribut partai beserta caleg sudah hilang semuanya. Ya, mereka memang sepertinya taat dengan aturan pemilu. Tetapi itu hanya terjadi di jalan raya, di lorong-lorong kecil serta gang-gang masih kita dapati poster dan bendera partai tertempel di beberapa titik.
Apa yang terjadi dengan masuknya masa tenang ini. Ternyata, pohon-pohon di kota besar menjerit kesakitan. Semua bagian pohon yang lain saling memarahi. Kasian pohon. Dialah yang paling apes dalam kejadian ini. Pohon masih merasa begitu kesakitan ketika sang daun berteriak. “Hei ranting, apa yang kamu lakukan, kenapa kami engkau biarkan merasa lapar di siani.” “Ah kalian itu taunya berteriak saja, saya saja ranting yang dekat dengan batang ini merasa kelaparan.” Dengan melalui kesepakatan, maka sang daun dan sang ranting berteriak sebesar-besarnya. “Pohon, kenapa engkau membiarkan kami kelaparan seperti ini?” Tidakkah engkau setia dengan kami? Apalah arti kehadiranmu batang tanpa kami di sini.”
“Ah....aduh....sakit. kawan maafkan aku, aku begitu sulit untuk mengantarkan makanan untuk kalian.” Kata sang pohon. “Kenapa wahai saudaraku?” tanya sang ranting. Ternyata si ranting masih memanggil pohonnya sebagai saudara, padahal sudah sebulan ini dia kekurangan makanan. Hari ini adalah puncaknya, ditambah dengan teriakan sang daun yang seolah-olah menyalahkan dirinya, karena menganggap sang ranting begitu serakah. “Tidakkah kalian melihat saya ini yang penuh dengan darah. Makanan yang saya antarkan untuk kalian begitu banyak hambatannya. Bahkan ada yang harus keluar dari genggaman saya.”
“Betul kawan, aku paham itu.” Sela sang akar. “Begitu banyak makanan yang aku suplai untukmu tetapi ternyat ranting dan daun tidak mendapatkannya.” “Jadi, kalau begitu kami harus bagaimana?” potong sang daun yang semakin lapar. “sabarlah kawan, aku selalu berusaha untuk segera menyembuhkan lukaku ini.” Jadi, mungkin beberapa hari ini pasokan makanan kalian berkurang.” Bujuk sang batang kepada teman-temannya.
Percakapan itu hanya mengingatkan kita bagaimana pohon itu menangis karena ulah para caleg di negeri ini. Mereka dengan begitu tega memasang poster pada tiap batang di pinggiran jalan. Puluhan paku yang mesti tertancap tajam pada batang-batang mereka. Anehnya lagi, setelah poster itu dibuka karena masuknya masa tentang, maka paku-paku itu tetap tertancap kuat pada batang-batang pohon. Pohon semakin susah untuk berkembang, padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Bukan hanya dibutuhkan untuk menempel poster tetapi kehadirannya telah membuat kita semua merasa agak sejuh di kota besar ini. Akankah kita menyadari bahwa sesungguhnya banyak cara lain untuk melakukan pemasangan poster yang sifatnya tidak membuat mereka tersiksa. Biarkanlah pohon-pohon itu melambai menyaksikan kita melambaikan bendera. Mereka akan sangat bersyukur ketika tak satupun paku tertancap pada batangnya.
Perilaku caleg yang tak cinta terhadap lingkungan sangat membahayakan masa depan bangsa. Belum lagi pemerintah yang seolah menutup mata dengan semua peristiwa itu. Akibatnya negeri ini tetap berada pada sebuah negeri yang hanya sangat cocok untuk bermimpi. Bermimpi mendapatkan pemimpin yang baik, bermimpi mendapatkan kehidupan yang sejahtera, walau ribuan bahkan jutaan kata-kata yang telah keluar dari bibir ribuan caleg yang semuanya hanyalah janji. Tanggal sembilan April 2009 nantilah yang akan menjadi momen bersejarah untuk sebuah perubahan. Semoga bukan perubahan dalam mimpi. Jangan sampai mimpi itu semakin terselimuti dengan hadirnya mimpi yang lain yang juga hanya akan membawa angin malapetaka di negeri ini. Tak cukupkah kiat bercermin pada dua pemilu sebelumnya yang semuanya hanya menjadikan mereka duduk pada kursi empuk dan tak kurang yang berakhir pada tangan KPK. Yang hadir pada pemilu 2009 ini mungkin tak akan lebih dari itu. Hal ini mesti dikatakan karena kehadiran calon legislatif hari ini hanyalah karena uang dan ketokohan. Bukan karena sebuah prestasi dan cita-cita yang luhur untuk menjadikan negara ini sebagai negara yang berdaulat dan menjadikan masyarakatnya sebagai bangsa yang sejahtera.

Makasar, 07 April 2009

Umum Coi

Islam dan Kesehatan

Baru saja beberapa menit saya mematikan tv dari handphone merek hi-tech saya. Tentunya siaran yang aku saksikan adalah bengkel hati di stasiun swasta TPI bersama dengan ustaz Danu. Untaz yang terbilang muda dengan penampilan sederhana tanpa mengikuti ciri yang digunakan sebagain ulama saat ini. Yang mana kepala harus dibalut dengan kain putih serta pakaian yang berjubah hingga berbagai pernik lain yang selalu diidentikkan dengan seorang pemuka besar agama islam. Tentunya kita tidak akan percaya dengan pemahaman agama ustaz Danu ketika kita hanya melihat dari fisiknya saja. Benarlah islam mengajarkan kita bahwa janganlah memandang seseorang dari segi suku, ras, bentuk fisiknya, tetapi pandang dan bergaullah dengan orang karena hatinya. Berbagai macam penyakit yang diderita oleh banyak orang atas izin Allah mampu untuk sembuh dalam acara bengkel hati tersebut. Terlihatlah seorang laki-laki yang menggunakan songkok putih dengan dagu yang sedikit ditumbuhi janggut. Betapa dia ingin sembuh dari penyakit yang dideritanya. Pengakuannya, sudah lebih dari 30 kiayi yang didatanginya untuk berobat. Pun lebih tiga puluh orang yang dianggap pintar untuk mengobati telah dia datangi. Apa gerangan penyakitnya. Ternyata, sejak lahir dia telah diberikan kekuatan gaib oleh orang tuanya. Untunglah Allah memberikan petunjuk kepadanya sehingga dia memiliki keinginan untuk bertaubat. Tak pelak, di bengkel hati, dipandu oleh sang ustaz Danu, dengan gemetar dan wajah yang aneh, perlahan dia bisa mengendalikan diri dan kemudian mengikuti perkataan ustaz Danu untuk memohon ampun kepada Allah, Swt. Alhamdulillah, penyakitnya Insya Allah sembuh dan diiringi dengan pesan untuk senantiasa bertaubat dan menjadikan Tuhan Semesta alam sebagai sembahan yang pasti dan satu-satunya yang wajib kita percayai atas kekuasaannya.
Tak lama, di depan rumah terdengar suara motor yang suaranya tak asing bagi telingaku. Dan, ya, betul bahwa yang datang adalah pengantar koran pagi hari ini. Koran kompas tentunya. Koran yang menjadi langgananku baru sekitar tiga bulan ini. Hanya karena keyakinan untuk mengetahui perkembangan nasional dan Internasional tentunya. Pun kutambahkan sedikit, untuk mempertahankan minat baca karena koran tergolong bahan bacaan yang murah dan menarik. Terutama kompas tentunya. Setelah aku memberikan senyum kepada sang pengantar yang kebetulan pagi ini koran diterima oleh keponakan saya, maka segera kuambil koran itu dari tangannya. Kupastikan bahwa pagi ini akan kubaca koran ini sampai habis. Mumpung juga hari ahad. Aktivitas tak begitu padat. Kolom demi kolom kubuka. Aku terhenti sejenak pada kolom ketiga setelah aku melihat di sudut kanan bawah terbaca Obituari. Siapa gerangan yang telah dipanggil oleh sang pencipta?
Dengan jelas di sana tertulis ‘Suami Menteri Kesehatan Meninggal Dunia’. Suami orang nomor satu tentang kesehatan di Indonesia. Lalu apa gerangan yang menyebabkan dia meninggal. Sebelumnya Kuucapkan Innlillahi wainna ilahi rajiun. Semoga Tuhan menerima segala amalannya. Pasti selain memang karena ajalnya kawan. Ternyata sang suami menteri tersebut yang bernama Muhammad Supari meninggal karena penyakit leukemia yang dideritanya. Bukan tidak percaya atas ilmu kesehatan dunia kawan, tetapi kesehatan sebenarnya berasal dari jiwa. Jiwa yang maaf, kurang bersih pasti akan rentang terhadap penyakit. Bukan memperbandingkan dengan sang suami menteri tadi. Hanya menjadikannya metafora karena menteri tersebut adalah orang yang paling tahu tentang kesehatan dunia. Kotor bukanlah istilah yang sangat jelek dalam persoalan hati kawan. Sebut saja misalnya ustaz Danu mengatakan sering marah-marah, memaksakan kehendak, tidak saling menolong, selalu membicarakan kejelekan orang lain adalah sisi kotor dari dalam jiwa seseorang. Apatahlagi jika hal tersebut terjadi pada diri seorang muslim. Muslim telah dijelaskan bahwa sesungguhnya kita bersaudara.
Olehnya itu, marilah kita selalu menjadikan jiwa kita menjadi bersih, tidak sering marah kepada siapa pun, membantu saudara kita tanpa pandang bulu, senantiasa melakukan suatu pekerjaan dengan ikhlas dan pastinya ibadah kepada Allah, Swt adalah sebuah kunci yang utama. Jika kita senantiasa membersihkan hati, setelah itu ditambah dengan pola makan yang mencerminkan kesehatan, maka Insya Allah kita akan senantiasa diselimuti kesehatan yang datangnya dari Allah, Swt. Bukan sebuah kesehatan yang berasal dari obat-obatan, karena sesungguhnya obat-obatan itu lahir atas izin Allah sang maha Kuasa atas segalanya.
Kematian adalah sesuatu yang telah dipastikan, segala sesuatunya berasal dan akan kembali kepada Allah. Marilah kita menjadikan hidup ini sebagai kehidupan persinggahan yang memberikan manfaat kepada sesama, memberikan keberkahan dan kebahagiaan bagi orang lain, dan pastinya bagi diri kita sendiri. Marilah kita menjalani hidup ini dengan senantiasa mengingat akan kebesaran Allah atas apa yang dipinjamkan kepada kita selama ini.
Semoga Tuhan senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita baik dalam bentuk kesehatan, umur yang panjang, perbuatan baik, serta hal lain yang tak dapat kita sadari.


Makassar, Ahad, 29 Maret 2009

Demokrat

SBY dan Demokrat

Baru 10 menit dari penutupan waktu pencontrengan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan TV One yang merupakan TV pemilu mulai menampakkan di layar televisi perhitungan cepat hasil pemilu. Mulai dari angka 0,0 persen dan terus terisi hingga terlihat 0,2 persen, 0, 5 persen dan sampai waktu-waktu berikutnya semakin bertambahlah jumlah persen suara yang masuk dari TPS yang menjadi sampel LSI yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Semakin menanjaknya suara yang masuk yang pada awalnya menempatkan Golkar sebagai partai yang bedada pada posisi paling atas. Di bawahnya ada PDI Perjuangan, dan urutan ke tiga demokrat sebagai partai baru yang mendukung karena sekaligus didirikan oleh SBY.
Hal tersebut hanya berlangsung dalam hitungan menit. Persentase yang masuk pun belum mencapai 2 persen. Saat angka tersebut, Demokrat dengan lambang warna birunya langsung menyalip ke Urutan pertama. Sementara di bawahnya Golkar dan PDIP saling sikut menyikut dan tanduk menanduk. Tiap menit bahkan hanya beberapa detik, Golkar dan PDIP saling berbagi pada urutan dua dan tiga. Sementara di puncak klasemen Demokrat telah melambai khas lambaian Susilo Bambang Yudoyono.
Hal ini menjadi sebuah fenomena dalam perpolitikan Indonesia. Agaknya, di negeri ini, siapa yang berkuasa maka besar sedikitnya pasti memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Apa lagi ketika pemerintahannya dianggap memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, walaupun hal itu sangat kecil. SBY sebagai presiden RI saat ini yang sekaligus menjadi dewan penasihat partai Demokrat memberikan bukti nyata tentang itu. SBY bagi demokrat seolah menjadi raja dan merupakan ikon yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tanpa SBY, maka demokrat bukanlah partai apa-apa. Orang bahkan tak mengenal siapa Demokrat, tetapi mereka paham dan simpati terhadap SBY. Olehnya itu, ketokohan SBY sebagai pemimpin perubahan baru di negeri ini telah menjadikan dan membuktikan dirinya bahwa kehadirannya menjadi sesuatu yang didambakan oleh masyarakat. Siapa yang tak kenal Golkar. Terlebih PDI yang dipimpin oleh mantan presiden pertama RI. Kedua partai yang saya sebutkan tersebut memiliki ketokohan dan keterkenalan pada masyarakat yang sangat besar. Hal itu selain dipengaruhi oleh latar belakang keberadaan partai, juga usia partai yang sudah puluhan tahun. Tetapi Demokrat yang baru saja didirikan pada tahun 2001 sangat diuntungkan dengan adanya SBY yang menjadi pemimpin hari ini.
Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi sebuah indikasi bahwa Susilo Bambang Yodoyono akan kembali menjadi calon terkuat Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. sebuah harapan yang sangat besar. Sebuah peluang yang sangat luas. Tak mustahil terbukti. Hasil pemilu hari ini (09/04/09) menjadi sebuah titik tolak hadirnya partai baru di Indonesia yang segera akan menghilangkan keberadaan partai lama dalam pikiran masyarakat.
Bukan berarti hilang secara total. Tetapi keberadaannya semakin terancam dengan partai baru. Harapan mereka untuk kembali memimpin negeri ini sedikit demi sedikit terkikis walau tak menjadi sirna. Hal ini pun disebabkan karena partai baru tak begitu paham terhadap keadaan orang-orang besarnya sehingga orang-orang besar tersebut cenderung berpikir untuk keluar dari partai dan segera membentuk partai baru. Terpecahnya partai-partai orde baru menjadi salah satu penyebab mereka tak mampu lagi untuk mencetak sejarah kemenangan dalam pemilu.
Pun sekarang masyarakat sudah begitu pintar untuk memahami perpolitikan Indonesia walau mereka tak terlibat di dalamnya. Pikiran mereka politik itu identik dengan uang. Tanpa uang, maka politik bagi mereka omong kosong. Jangan harap sebuah bendera dan baliho akan aman terpasang pada ebuah gang-gang kecil ketika tak ada rupiah yang menjaganya di sana. Hal ini membuktikan bahwa dalam pikiran masyarakat, selangkah dan sekata pun ketika itu berhubungan dengan politik, maka ujung dan pangkalnya adalah uang. Hal ini pun direspons positif oleh partai. Mereka juga paham bahwa uang adalah segalanya dalam politik. Dan ada nurani dan tak ada persahabatan dalam politik. Semuanya bisa menjadi kawan, dan bahkan sedetik kemudian berubah menjadi lawan yang siap menerkam kita dari depan dan belakang. Olehnya itu, sangat susah untuk menjadikan sebuah partai menjadi begitu besar, tetapi kemungkinan yang lebih susah lagi adalah mempertahankan suasana partai yang telah besar untuk tetap menjadi kondusif. Hal inilah yang dipahami betul oleh Demokrat sehingga ketokohan SBY menjadi tokoh sentral yang seluruh petuahnya pasti didengarkan dan akan dilaksanakan sampai ke tingkat bawah. Semoga sesuatu hal menjadi semakin baik untuk negeri ini.

Makasar, 09 April 2009

Kampanye

Kampanye

Aku menulis tulisan kita ketika kampanye putaran terakhir dalam rangka pesta demokrasi di Indonesia berlangsung. Setiap hari pikiran saya disesaki tentang kampanye. Koran kompas yang datang setiap pagi pun memberikan suguhan kampanye. Ketika kuputar televisi di pagi hari pun berita kampanye yang mendominasi. Hanya sesekali diselingi berita yang lain. Itupun pembunuhan dan pemerkosaan. Menjijikkan.
Partai yang jumlahnya 38 silih berganti diberitakan mengenai kegiatan kampanyenya. Berbagai macam pola kampanye yang mereka lakukan. Tetapi, yang paling lazim dan paling banyak dilakukan oleh partai adalah berkampanye atau lazim disebut rapat terbuka dengan menghadirkan para jurkam yang disertai dengan hadirnya artis tertentu. Pastinya pengerahan massa yang ribuan hingga ratusan ribu. Tergantung, sebagaimana besar kemampuan besar kemapuan seorang master campaign. Pastinya semuanya akan berujung dengan uang. Prinsip klasik politik kan siapa mendapatkan apa? Itu saja. Sangat sederhana walau mengandung filosofi yang dalam. Hal tersebut secara terus menerus berlaku hingga saat ini, terutama di Indonesia, dan bahkan semakin “menggila.”
Masyarakat kecil pun seakan semakin tahu tentang pameo tersebut. Bahkan, di televisi dan juga di sekitar rumah saya yang kutemui mengaku baukan hanya sekali mengikuti kampanye. Tentunya juga bukan dengan satu partai. Mereka diiming-imingi uang dua puluh ribuan untuk mengikuti sebuah arakan kampanye partai tertentu. Siapa yang tidak mau dalam masa krisis saat ini. Daripada tinggal di rumah memeluk bantal atau menyaksikan pesta kampanye di lelevisi lebih baik pergi untuk menyaksikan artis bergoyang dan menggoyang serta mengisi kocek yang memang susah untuk berisi. Bayangkan saja, jika hal tersebut terjadi pada banyak orang. Artinya, bahwa panggung kampanye yang disebut rapat akbar semakin semu untuk menentukan jumlah kader dan simpatisan sebuah partai.
Kita lihat di Papua, sekelompok masyarakat yang menurunkan atribut partai Gerindra. Apa pasal? Ternyata kasus yang sama. Sehari sebelum kampanye, seseorang datang menjanjikan mereka uang lima puluh ribu rupaih untuk mengikuti kampanye. Tetapi samapi kampanye berlangsung, orang tersebut tak kunjung datang. “Siapa mendapatkan apa?” lagi-lagi. Tetapi itulah sebuah resiko pesta demokrasi saat ini. Semuanya serba semu, yang menentukan pastilah ketika seseorang berada di bilik suara. “Ambil uangnya, jangan pilih partai dan calegnya.” Jawaban itulah yang keluar dari para tetangga saya yang katanya telah mendapatkan uang dari berbagai macam partai politik. Yang pasti, mereka tak akan mengetahui pilihan saya nantinya. Begitulah jawaban masyarakat ketika ditanya tentang kemungkinan mereka untuk mencontreng partai yang telah memberikannya uang. Semuanya semu. Lagi-lagi, siapa mendapatkan apa.
Dari bilik kamarku, aku hanya berharap semoga dari belasan ribu caleg yang sedang bertarung, diantar mereka yang terpilih adalah seorang caleg yang memiliki niat ikhlas untuk sebuah perubahan masyarakat yang lebih baik. Bukan mereka yang “Siapa mendapatkan apa?” semoga.

Makasar, 05 April 2009

पेमिलू

DPD dan Islam

Belum hilang rasanya dalam pikiran kita pemilihan legislatif dan presiden tahun 2004. apalagi saat ini ketika genderang kampanye kembali di tabuh. Peserta semakin bertambah. Sekarang 38 para pejuang yang katanya atas nama rakyat bersaing untuk memperebutkan sebuah kursi yang akan memanjakan mereka nantinya. Itu baru rumah mereka. Belum lagi berapa orang yang menghuni rumah tersebut. Toh, bahkan antara mereka saja saling sikut menyikut untuk menjadi penghuni gedung yang mewah nantinya. Mungkin bukan hanya gedungnya yang mewah, fasilitas yang bersamanya bukan main. Sekarang masyarakat selaku pemilih semakin pusing. Sebelas ribuan orang yang akan mereka pilih untuk menjadi pemimpin. Entah siapa yang akan terpilih nantinya.
Sulsel, politik, dan islam
Suatu yang ironi terjadi di Sulawesi Selatan. Sebuah provinsi yang merupakan wilayah terbesar dan paling terkenal untuk wilayah Indonesia Timur. Berbagai hal di Indonesia Timur bermuara di Sulawesi Selatan. Daerah ini akan semakin menjadi daerah yang jaya dan akan semakin menjadi pemimpin ke depannya. Kita sekarang patut bersyukur atas perkembangan politik di wilayah ini. Telah banyak tokoh dari negeri lagaligo yang telah bersaing dan bahkan memimpin di tingkat nasional. Suatu yang fantastis. Salah satunya saja, Yusuf Kalla yang sekarang menjadi wakil presiden, sekaligus pemimpin tertinggi partai Golkar. Alhasil, pengusaha tersebut pun sekarang ini sedang dijagokan untuk menjadi calon presiden. Waktu yang akan menjawabnya.
Kembali kita menilik peristiwa pemilu 2004. pemilu 2009 belumlah berlangsung, olehnya itu pun belum layak untuk dipastikan hasilnya. Setiap detik politik untuk 2009 berubah 180 derajat. Kuota Calon Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi selatan periode 2004 adalah sebanyak empat orang. Dianggap sebagai kuota yang cukup untuk mewakili wilayah yang kaya akan segalanya tersebut. Tapi, kami sebagai umat muslim sedikit mesti mengusap dada dan merenungkan untuk masa depan kita sebagai umat islam dan sekaligus sebagai agama yang jumlahnya paling besar di Indonesia. Dari empat orang yang lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Sulawesi Selatan, dua orang diantaranya adalah nonmusim. Tidak perlulah aku sebutkan agamanya kawan. Bukan saya tidak memiliki solidaritas, bukan pula bahwa islam yang harus berkuasa, juga bukan menjastis bahwa islamlah yang harus menjadi pemimpin di negeri ini. Hanya memberikan pemahaman perlunya umat muslim untuk menyatukan pendapat dan pandangan untuk masa depan yang lebih baik.
Sembilan puluh sembilan persen lebih umat islam bercokol di Sulawesi Selatan. Toh yang berhasil untuk berada di Dewan Perwakilan Rakyat hanyalah dua orang. Sama dengan wakil dari agama lain yang jumlahnya sangat minoritas di wilayah ini. Sekali lagi maksud tulisan ini hanya untuk renungan bagi umat islam. Akankah sebuah perubahan terjadi bagi diri kita ke depannya. Atau masa di mana kita akan kembali pada zaman di mana islam hanya menjadi penonton dan pengikut untuk sebuah perubahan dunia.
Dua puluh hari lagi kita akan mencoblos perwakilan masa depan di negeri ini. Berbagai macam kampanye telah tersaji di depan mata. Berbagai bentuk janji-janji yang kebanyakan palsu silih berganti masuk di telinga kita. Jangan tanya tentang uang. Jumlahnya tak terhitung lagi. Dua puluh ribuan sekali kampanye hingga jutaan rupiah untuk orang-orang yang dianggap mampu mendatangkan massa. Belum jelas akan memilih siapa yang jelasnya datang dalam pesta keramaian yang mempertontonkan aurat dan goyangan erotis. Para simpatisan lebih sering berjingkrak-jingkrak seperti cacing kepanasan ketika yang hadir di panggung adalah artis yang notabene juga sebagai pemilih dibandingkan ketika yang hadir adalah para caleg dari partai tersebut. Entah akan kemana dan bagaimana negeri ini. Kalianlah yang akan menentukan kawan. Semuanya akan terjadi pada bilik yang lebih sempit daripada kertas suara yang ada. Tapi, sebuah kepastian bahwa kita harus memilih untuk semuanya. Mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Pusat hingga Dewan Perwakilan Daerah. Semunya telah saling bersaing dengan janji yang terkadang aneh bin ajaib. Akankah kembali islam hanya menjadi pemenang minoritas atau bahkan yang akan mewakili kita bukanlah berasal dari seagama kita. Entah, dan kalianlah penentunya. Sekali lagi. Tanggal 9 April 2009 tepat hari kamis, kita akan berada pada bilik tersebut dengan istilah pencontrengan. Contreng......contreng.....contreng. jangan lupa untuk masa depan kawan.


Makasar, Akhir Maret 2009

Pemilu

Caleg Bodoh

Samar-samar suara hasil pemilu yang berasal dari Tempat Pemungutan Suara sudah muncul di KPPS Kecamatan. Samar-samar pula setiap calon legislatif tingkat kabupaten, provinsi, pusat serta Dewan Perwakilan Daerah mengetahui jumlah perolehan suara mereka. Ditambah dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sehingga mereka semakin yakin atas perolehan suara tersebut. Akhirnya jelaslah apa yang terjadi pada diri caleg. Pastinya ada yang begitu berbahagia, ada pula yang santai saja, dan pastinya ada yang sangat kecewa, depresi, bahkan sampai ada yang stres. Yang bahagia adalah mereka yang telah mengeluarkan uang dengan begitu besar yang diimbangi dengan perolehan suara yang juga mengantar mereka ke kursi empuk. Mereka yang bersantai saja adalah mereka yang tak mengeluarkan dana begitu besar, sementara mampu mendulang suara yang begitu besar. Nah, pastinya yang kecewa adalah mereka yang tak terpilih pun karena modal mereka pas-pasan. Yang depresi adalah mereka yang telah mengeluarkan uang tetapi tak mampu mendulang suara. Sedangkan yang stres sampai diantar ke rumah sakit jiwa adalah para caleg yang telah mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar sementara tak sebanding dengan suara yang mereka peroleh.
Anehnya lagi, beberapa caleg di negeri ini bukan hanya mengalami gangguan jiwa, tetapi ada yang lebih dari itu. Ada diantara mereka yang sudah jauh dari sisi kemanusiaannya sebagai makhluk sosial. Sebut saja di papua, seorang caleg yang meminta pengembalian karpet yang telah diberikan kepada para ibu majelis taklim yang berjumlah 20 orang di daerah tersebut. Padahal dari 20 orang yang menjadi anggota majelis taklim tersebut hanya satu orang yang tak memilihnya. Pun itu karena dia sakit sehingga tak mampu datang ke TPS tetapi memilih untuk pergi berobat di rumah sakit daerah.
Belum lagi di daerah Cirebon. Seorang caleg yang meminta pengembalian 8 zag semen yang telah disumbangkan untuk perbaikan jalan warga setempat. Akhirnya, karena kalah dia mengutus orang-orangnya untuk meminta kembali semen tersebut. Maka pak RW lah yang arus merogoh koceknya sendiri karena semen yang disumbangkan telah digunakan oleh warga. Sesuatu yang memalukan dan sekaligus memilukan. Dua cerita di atas hanyalah bagian kecil dari apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat caleg.
Artinya, betapa malang negeri ini dengan sistem demokrasi yang terus seperti itu. Orang, siapa pun dia, dengan bebas mendaftar ke partai politik untuk menjadi calon anggota legislatif. Pun tak ada pengaderan yang jelas yang dilakukan oleh partai politik saat ini untuk memberikan bekal kepada orang-orang yang bergabung dalam lingkaran “setan” mereka. Ditambah dengan banyaknya orang yang berkeinginan mendirikan partai dengan modal ketokohan serta perasaan tersisi dari partai yang selama ini menaungi mereka.
Sebutlah partai-partai baru yang berhasil menduduki urutan sepuluh besar dalam daftar perolehan suara nasional saat ini (pemilu 2009). Partai-partai tersebut dibuat dan dibentuk oleh orang-orang yang telah bergabung dengan partai yang besar sebelumnya. Karena tak mendapatkan tempat yang layak pada partai yang ditempatinya, akhirnya mereka mengambil haluan untuk sesuatu yang lain dengan membentuk partai sendiri dan dirinya menjadi sesepuh di sana. Itulah sebuah sistem keinginan karena memang seperti itulah hakikat seorang manusia. Apalagi manusia yang hidup dalam zaman perpolitikan nasional yang sangat panas dan semakin jauh dari tujuan menjadikan kesejahteraan sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini jelas terbukti dengan banyaknya caleg yang depresi, stres, dan sampai bunuh diri karena ketakmampuan mereka menerima kenyataan. Artinya, bahwa yang mereka inginkan memang dari awal bukanlah menjadikan rakyat sejahtera dengan berbagai jalan perjuangan, tetapi yang tertanam dalam benak mereka adalah kursi empuk bergengsi dan berbayar mahal tersebut serta fasilitas lain yang pasti sangat mengasyikkan dan terus membayang dalam benak mereka. Harapan saat ini adalah semoga mereka yang lahir dari pemilu ini dan nantinya akan dewasa dalam panggung DPRD, DPR serta DPD nantinya. Semoga di saat mereka duduk dalam kursi yang banyak membuat orang “gila” tersebut juga tak berubah menjadi gila. Jangan sampai yang gagal dan yang lolos memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama “gila”



Makasar, 17 April 2009