Sabtu, 12 Desember 2009

Korupsi

Hadi Jamal, Masyarakat, dan Anggota Dewan

Dua Minggu sebelum tanggal 09 April 2009, di mana pemilu akan digelar, KPK menangkap Hadi Jamal sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dalam drama penjebakan yang dramatis. Dramatis bagi Hadi dan Juga rekannya Rahmawati yang terlibat dalam kasus tersebut. KPK berhasil mengungkap sogoh menyogok dalam pembebasan dan pembangunan bandara serta dermaga di kawasan Indonesia Timur.
Berita tersebut sangat santer dibicarakan mulai tingkat lokal hingga tingkat nasional. Bukan karena apa, Hadi Jamal dikenal sebagai anak ulama yang kharismatik. Hadi Jamal pun dikenal sebagai orang yang besar dan idealis dalam partainya. Partai Amanat Nasional sebagai tempat dia bercongkol. Dua hari pascapenangkapan tersebut, DPP PAN langsung memecat beliau dan ini berarti bahwa kenggotaannya dalam partai hilang yang pasti juga pencalonannya harus digugurkan. Sontak saja keputusan ini tidak diterima oleh Hadi Jamal berikut tim suksesnya. Di Sulawesi selatan sebagai daerah pemilihan Hadi Jamal, para penukung membentuk tim dan membangun posko yang bertujuan untuk menolak hasil keputusan DPP PAN.
Ditambah dengan telah dicetaknya kertas suara membuat hal ini semakin susah untuk digugurkan. Seminggu sebelum masa kampanye berakhir, tim kampanye Hadi Jamal menggebrak daerah pemilihan 1 dengan berbagai macam baliho yang provokatif untuk kembali memilih calon yang dicalonkannya, Hadi Jamal. Sesuatu yang dramatis. Entah apa strategi yang dilakukan oleh timnya. Entah komunikasi bagaimana yang dilakukan Hadi Jamal dari balik jeruj besi. Dia begitu cerdas untuk mengatur semuanya.
Tanggal 09 pun tiba. Mentari menyinari seluruh negeri. Sinarnya pun memberikan semangat besar kepada masyarakat untuk mengunjungi bilik suara yang telah ditetapkan sesuai dengan wilayah domisili warga. Sontak saja hari itu dijadikan sebagai hari bersejarah dan hari yang mendebarkan bagi masyarakat secara umum. Yang pastinya lebih mendebrkan bagi para caleg yang bersaing dengan perbandingan minimal satu banding sepuluh. Entah bagaimana perasaan Hadi Jamal dalam bilik tersebut. Dia tidak sempat mendatangi konstituennya. Akan tetapi, pastinya dia memiliki keyakinan yang besar di sana.
Betul saja, empat hari pasca pemilihan, media-media lokal dan nasional begitu ramai memberitakan Hadi Jamal. Bagaimana tidak, dia mendapatkan suara tertinggi di wilayahnya dalam lingkaran partai amanat nasional. Bahkan telah dipastikan bahwa dia akan melenggang ke senayan. Untung saja hal itu akan kandas dengan ketegasan yang telah dilakukan oleh DPP PAN dengan memecatnya sebagai anggota partai. Semuanya telah terjadi.
Kami hanya berharap bahwa ke depan, untuk pemilihan presiden, masyarakat mampu untuk berpikir cerdas dan realistis untuk sebuah pemimpin masa depan bangsa. Sekali saja salah langkah dengan mencontreng calon yang tidak kapabel, yakin saja bahwa lima tahun ke depan kesengsaraan akan menyertai kita. Harapan pun semoga masyarakat tidak terperangkap dalam kisah pragmatis sementara yang tak akan menguntungkan sama sekali. Dengan iming-iming 20 hingga 50 ribu rupiah, mereka telah bersedia mencontreng orang-orang yang memberikan uang tersebut. Sementara, hal itu telah menjadi indikasi bahwa orang ini pasti akan menjadi pemimpin yang tak beres. Tak beres untuk dirinya sendiri, keluarga, terlebih untuk bangsa.



Makasar, 08 Mei 2009

lagi

CUTHAT

Jam menunjukkan pukul 18. 30 wita. Aku baru saja menginjakkan kaki di rumah kamar belakang dan langsung menuju kamar mandi. Maklum, sore tadi aku dan seorang kawanku, yang lebih tepatnya aku menyebutnya kekasih, baru pulang dari berenang di tanjung bayam. Pastinya aku belum salat magrib. Tapi, tak apa karena waktu memang masih tersedia untuk itu. Sementara aku di kamar mandi sambil menyiram kepala dan badanku yang masih diselimuti pakaian.
Samar-samar terdengar suara pertengkaran di ruang tengah. Tempat di mana televisi terpajang rapi di sana. Televisi yang berukuran 21 inci itu setia menemani keluargaku yang memang hobi menonton. Ketika siang, hanya terhitung menit televisi ituberistirahat. Malamnya pun tak pernah sebelum pukul 23.00. itulah kenyataan yang diberikan oleh kotak tersebut. Sontak saja aku semakin mendengarkan suara itu dan segera menyelesaikan prosesi penyiraman ini. Kuambil air wudhu dan segera masuk kamar untuk salat magrib. Memang menjadi kebiasaanku untuk melaksanakan salat magrib secara terlambat. Tentunya kebiasaan yang buruk kawan. Tapi lebih baik dari pada yang tidak salat sama sekali.
Cepat. Tak perlu doa. Alasannya karena aku penasaran dengan suara yang kudengar dari televisi tersebut. Aku mengenali suara itu. Suara yang syahdu dan sangat sering kudengarkan. Betul saja, ketika kulongakkan mataku pas dua meter di hadapan tv kusaksikan tatapan Anjasmara dengan balutan kemeja lengan panjang serta kain levis warna biru gelap yang dipakainya. Dia begitu lihai dalam memandu acara tersebut. Badannya yang berpostur besar tentunya sangat membantu.
Di sampingnya duduklah seorang lelaki macho dengan gaun warna kuning. Di sisi kiri duduk seorang perempuan yang tak lain adalah kekasih sang laki-laki tersebut. Pas di samping anjasmara sebelah kanan, seorang perempuan yang dipanggil ibu kos duduk dengan tatapan yang tajam d an penuh luapan emosi. Sesekali dia berdiri sambil mengayungkan tangan yang tak terkepal pada wajah lelaki itu. Lelaki itu sedikit mengindar dan sesekali mengeluarkan kata-kata.
Apa gerangan yang terjadi. Kusaksikan di layar bagian belakang tertulis “CurhaT” bukan rekayasa. Aku baru teringat beberapa hari yang lalu ketika melihat cuplikan acara tersebut dalam iklan. Betul saja. Curhat bersama Anjasmara. Itulah nama reality show tersebut yang sampai sekarang aku belum tahu siapa penggagasnya. Acara yang begitu apik dengan kehadiran orang-orang yang dianggap paling terkait dengan kasus yang sedang diberitakan. Malam itu, kasusnya adalah tuduhan sang laki-laki yang berbaju kuning tadi terhadap sebuah rumah kos yang menyajikan pelayanan ples-ples. Tentu yang hadir adalah ibu kos dari kosan tersebut. Dialah yang paling emosi. Sementara di sisi lain, dihadirkan saksi-saksi yang dianggap mampu memberikan informasi tentang kebenaran atau kesalahan apa yang dituduhkan oleh sang lelaki.
Di depan panggung, para penonton terlihat tegang. Sampai acara ini selesai, tak satupun penyelesaian masalah yang muncul. Bahkan sampai akhir acara, yang ada adalah perasaan emosi, dendam membara, serta cemoohan yang meraja lela. Dari mulut ke mulut. Dari jiwa ke jiwa. Entanh siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa yang jujru dan pasti ada yang berbohong. Semuanya hanya tersembunyi dalam acara itu.
Lengkap sudah reality show di layar televisi kita. Mulai dari yang menagjak orang untuk membunuh, mencela, menertawai, memerkosa, mencuri, menuduh, memfitnah, dan beratus macam acara lainnya telah dihadirkan untuk kita. Adakah kita menyukai semuanya? Wallahuwaklam bissawab.

Makasar, 10 Mei 2009

Sabtu, 18 April 2009

Pendidikan

Sekolah dan Kemanusiaan

Entah mengapa pagi ini koran kompas begitu cepat kedengaran menyentuh pintu depan. Biasanya juga, aku sudah melangkahkan kaki menuju tempat kerja, koran itu belum juga datang. Hari ini, kedatangannya betul-betul cepat. Mungkin karena pengantarnya yang berganti atau mungkin karena dia ingin menyenangkan saya yang selalu dia antarakan dengan waktu yang tak jelas.
Makanya pagi ini pula, kusempatkan diri untuk membaca beberapa bagian dari koran tersebut sebelum aku berangkat kerja. Mumpung, karena baru kali ini aku menemukan koran datang pada jam kerja. Hari yang sering aku temukan koran datang ketika saya ada di rumah hanya sabtu dengan ahad. Itu pun bukan waktu yang pagi. Semuanya di atas pukul delapan bahkan terkadang waktunya tidak jelas. Yang jelas, hari ini aku bersyukur. Semoga esok-esok pun seperti itu.
Lembar demi lembar aku buka. Aku malas melihat halaman utama yang hanya memberitakan info terbaru kampanye yang sudah berakhir. Kita akan berada pada Minggu tenang, katanya. Walau bukti yang ada kita makin terusik dengan kedatangan mereka ke rumah-rumah sambil membawa barang-barang tertentu yang disertai dengan kartu nama. Tentu kartu nama caleg. Sekali lagi pameo banyak tetangga, “Ambil uangnya, jangan pilih calegnya.”
Makanya tak kubaca halaman pertama koran itu. Kubuka pada lembar berikutnya dan ternyata juga masih berita tentang parpol. Kulangkahi lagi, sampai beberapa halaman dan aku terhenti pada berita humaniora. Kubaca, dan kukernyutkan sedikit kening. Dengan judul serta ilustrasi gambarnya kupaham bahwa pastinya berita setengah halaman ini berbicara tentang pendidikan. Kutelusuri kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf pertama terlewatkan. Aku melirik jam yang berada di dinding. Di sana terlihat sudah pukul 07. 05. untunglah, senin karena upacara maka saya masuk pukul 07. 45. saya begitu malas untuk mengikuti upacara. Rutinitas yang menoton dan itu itu terus. Kulanjutkan pembacaanku pada paragraf berikutnya. Aku semakin tertarik. Tulisan itu berbicara tentang sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Alam di Semarang. Luas lahannya kurang lebih 2 hektar. Sebuah wilayah yang pastinya agak luas untuk ukuran sebuah sekolah. Dua hektar wilayah tersebut tidak digunduli. Para pengelola sekolah malah membuat sebuah rumah-rumah panggung di tengah wilayah. Dibiarkannya rumah panggung itu tak berdinding. Atapnya pun terbuat dari ilalang yang telah dikeringkan.
Ternyata pelopor dari pendidikan yang menjadikan alam sebagai media pembelajaran tersebut bernama.......cita-citanya murni sebuah sistem pendidikan masa depan yang menginginkan seluruh potensi siswa lokal Indonesia tergali sesuai dengan kemampuan dan apa yang kita miliki. “Mengapa kita mesti mencontoh sistem sekolah negara lain, padahal kita mampu untuk menciptakan sistem yang sesuai dengan kondisi kita, dan wah ternyata hasilnya tak kalah dengan mereka.” Ungkapnya dalam koran tersebut.
Artinya, di Indonesia Dinas Pendidikan mestinya lebih berfikir untuk sebuah masa depan kita. Kita semua sepakat bahwa sekolah adalah elemen paling penting dalam negara ini. Sekolah menjadi media untuk mencerdaskan bangsa dan menghasilkan generasi yang akan melanjutkan pembangunan serta menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Lalu apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Anggaran dunia pendidikan kita sekarang sudah mencapai amanat undang-undang dalam APBN yaitu sebesar 20 persen. Lalu, apanya yang kurang. Kurang cerdas, atau kurang kompetenkah guru yang mengajar di negeri ini. Ah, sudahlah. Sebuah harapan tinggallah harapan. Sebuah keinginan tinggal keinginan. Sebuah kemauan tinggallah kemauan.
Semuanya mesti berada pada wilayah kesadaran kita masing-masing. Kita harus bertanya, mengapa pengembangan dunia pendidikan lebih aktif terjadi pada sekolah-sekolah swasta dan juga nonformal. Padahal mereka menggunakan dana yang bukan berasal dari negara. Toh, ketika ada bantuan dari negara, itu hanyalah sebuah bantuan yang sangat sedikit membantu.
Kita mesti paham untuk menyelesaikan secara bersama. Potensi yang ada pada diri siswa Indonesia sebenarnya sangat besar. Tak kalah dengan apa yang dimiliki oleh negara lain. Tetapi, mengapa kemarin Korea berhasil meluncurkan satelitnya (pengakuan mereka) sementara kita masih menjadi penonton yang melototi semua itu.
Kita pasti bisa, semua pasti bisa. Bekerjasamalah untuk sebuah perubahan masa depan bangsa.


Makasar, 06 April 2009

Kasian

Percakapan Pohon

Baru saja kemarin (06/07/09) dinyatakan bahwa putaran pemilu telah memasuki Minggu tenang. Minggu di mana semua atribut dan kegiatan kampanye harus dihentikan. Kita semua melihat jalan-jalan raya yang sebelumnya dipenuhi dengan atribut partai beserta caleg sudah hilang semuanya. Ya, mereka memang sepertinya taat dengan aturan pemilu. Tetapi itu hanya terjadi di jalan raya, di lorong-lorong kecil serta gang-gang masih kita dapati poster dan bendera partai tertempel di beberapa titik.
Apa yang terjadi dengan masuknya masa tenang ini. Ternyata, pohon-pohon di kota besar menjerit kesakitan. Semua bagian pohon yang lain saling memarahi. Kasian pohon. Dialah yang paling apes dalam kejadian ini. Pohon masih merasa begitu kesakitan ketika sang daun berteriak. “Hei ranting, apa yang kamu lakukan, kenapa kami engkau biarkan merasa lapar di siani.” “Ah kalian itu taunya berteriak saja, saya saja ranting yang dekat dengan batang ini merasa kelaparan.” Dengan melalui kesepakatan, maka sang daun dan sang ranting berteriak sebesar-besarnya. “Pohon, kenapa engkau membiarkan kami kelaparan seperti ini?” Tidakkah engkau setia dengan kami? Apalah arti kehadiranmu batang tanpa kami di sini.”
“Ah....aduh....sakit. kawan maafkan aku, aku begitu sulit untuk mengantarkan makanan untuk kalian.” Kata sang pohon. “Kenapa wahai saudaraku?” tanya sang ranting. Ternyata si ranting masih memanggil pohonnya sebagai saudara, padahal sudah sebulan ini dia kekurangan makanan. Hari ini adalah puncaknya, ditambah dengan teriakan sang daun yang seolah-olah menyalahkan dirinya, karena menganggap sang ranting begitu serakah. “Tidakkah kalian melihat saya ini yang penuh dengan darah. Makanan yang saya antarkan untuk kalian begitu banyak hambatannya. Bahkan ada yang harus keluar dari genggaman saya.”
“Betul kawan, aku paham itu.” Sela sang akar. “Begitu banyak makanan yang aku suplai untukmu tetapi ternyat ranting dan daun tidak mendapatkannya.” “Jadi, kalau begitu kami harus bagaimana?” potong sang daun yang semakin lapar. “sabarlah kawan, aku selalu berusaha untuk segera menyembuhkan lukaku ini.” Jadi, mungkin beberapa hari ini pasokan makanan kalian berkurang.” Bujuk sang batang kepada teman-temannya.
Percakapan itu hanya mengingatkan kita bagaimana pohon itu menangis karena ulah para caleg di negeri ini. Mereka dengan begitu tega memasang poster pada tiap batang di pinggiran jalan. Puluhan paku yang mesti tertancap tajam pada batang-batang mereka. Anehnya lagi, setelah poster itu dibuka karena masuknya masa tentang, maka paku-paku itu tetap tertancap kuat pada batang-batang pohon. Pohon semakin susah untuk berkembang, padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan. Bukan hanya dibutuhkan untuk menempel poster tetapi kehadirannya telah membuat kita semua merasa agak sejuh di kota besar ini. Akankah kita menyadari bahwa sesungguhnya banyak cara lain untuk melakukan pemasangan poster yang sifatnya tidak membuat mereka tersiksa. Biarkanlah pohon-pohon itu melambai menyaksikan kita melambaikan bendera. Mereka akan sangat bersyukur ketika tak satupun paku tertancap pada batangnya.
Perilaku caleg yang tak cinta terhadap lingkungan sangat membahayakan masa depan bangsa. Belum lagi pemerintah yang seolah menutup mata dengan semua peristiwa itu. Akibatnya negeri ini tetap berada pada sebuah negeri yang hanya sangat cocok untuk bermimpi. Bermimpi mendapatkan pemimpin yang baik, bermimpi mendapatkan kehidupan yang sejahtera, walau ribuan bahkan jutaan kata-kata yang telah keluar dari bibir ribuan caleg yang semuanya hanyalah janji. Tanggal sembilan April 2009 nantilah yang akan menjadi momen bersejarah untuk sebuah perubahan. Semoga bukan perubahan dalam mimpi. Jangan sampai mimpi itu semakin terselimuti dengan hadirnya mimpi yang lain yang juga hanya akan membawa angin malapetaka di negeri ini. Tak cukupkah kiat bercermin pada dua pemilu sebelumnya yang semuanya hanya menjadikan mereka duduk pada kursi empuk dan tak kurang yang berakhir pada tangan KPK. Yang hadir pada pemilu 2009 ini mungkin tak akan lebih dari itu. Hal ini mesti dikatakan karena kehadiran calon legislatif hari ini hanyalah karena uang dan ketokohan. Bukan karena sebuah prestasi dan cita-cita yang luhur untuk menjadikan negara ini sebagai negara yang berdaulat dan menjadikan masyarakatnya sebagai bangsa yang sejahtera.

Makasar, 07 April 2009

Umum Coi

Islam dan Kesehatan

Baru saja beberapa menit saya mematikan tv dari handphone merek hi-tech saya. Tentunya siaran yang aku saksikan adalah bengkel hati di stasiun swasta TPI bersama dengan ustaz Danu. Untaz yang terbilang muda dengan penampilan sederhana tanpa mengikuti ciri yang digunakan sebagain ulama saat ini. Yang mana kepala harus dibalut dengan kain putih serta pakaian yang berjubah hingga berbagai pernik lain yang selalu diidentikkan dengan seorang pemuka besar agama islam. Tentunya kita tidak akan percaya dengan pemahaman agama ustaz Danu ketika kita hanya melihat dari fisiknya saja. Benarlah islam mengajarkan kita bahwa janganlah memandang seseorang dari segi suku, ras, bentuk fisiknya, tetapi pandang dan bergaullah dengan orang karena hatinya. Berbagai macam penyakit yang diderita oleh banyak orang atas izin Allah mampu untuk sembuh dalam acara bengkel hati tersebut. Terlihatlah seorang laki-laki yang menggunakan songkok putih dengan dagu yang sedikit ditumbuhi janggut. Betapa dia ingin sembuh dari penyakit yang dideritanya. Pengakuannya, sudah lebih dari 30 kiayi yang didatanginya untuk berobat. Pun lebih tiga puluh orang yang dianggap pintar untuk mengobati telah dia datangi. Apa gerangan penyakitnya. Ternyata, sejak lahir dia telah diberikan kekuatan gaib oleh orang tuanya. Untunglah Allah memberikan petunjuk kepadanya sehingga dia memiliki keinginan untuk bertaubat. Tak pelak, di bengkel hati, dipandu oleh sang ustaz Danu, dengan gemetar dan wajah yang aneh, perlahan dia bisa mengendalikan diri dan kemudian mengikuti perkataan ustaz Danu untuk memohon ampun kepada Allah, Swt. Alhamdulillah, penyakitnya Insya Allah sembuh dan diiringi dengan pesan untuk senantiasa bertaubat dan menjadikan Tuhan Semesta alam sebagai sembahan yang pasti dan satu-satunya yang wajib kita percayai atas kekuasaannya.
Tak lama, di depan rumah terdengar suara motor yang suaranya tak asing bagi telingaku. Dan, ya, betul bahwa yang datang adalah pengantar koran pagi hari ini. Koran kompas tentunya. Koran yang menjadi langgananku baru sekitar tiga bulan ini. Hanya karena keyakinan untuk mengetahui perkembangan nasional dan Internasional tentunya. Pun kutambahkan sedikit, untuk mempertahankan minat baca karena koran tergolong bahan bacaan yang murah dan menarik. Terutama kompas tentunya. Setelah aku memberikan senyum kepada sang pengantar yang kebetulan pagi ini koran diterima oleh keponakan saya, maka segera kuambil koran itu dari tangannya. Kupastikan bahwa pagi ini akan kubaca koran ini sampai habis. Mumpung juga hari ahad. Aktivitas tak begitu padat. Kolom demi kolom kubuka. Aku terhenti sejenak pada kolom ketiga setelah aku melihat di sudut kanan bawah terbaca Obituari. Siapa gerangan yang telah dipanggil oleh sang pencipta?
Dengan jelas di sana tertulis ‘Suami Menteri Kesehatan Meninggal Dunia’. Suami orang nomor satu tentang kesehatan di Indonesia. Lalu apa gerangan yang menyebabkan dia meninggal. Sebelumnya Kuucapkan Innlillahi wainna ilahi rajiun. Semoga Tuhan menerima segala amalannya. Pasti selain memang karena ajalnya kawan. Ternyata sang suami menteri tersebut yang bernama Muhammad Supari meninggal karena penyakit leukemia yang dideritanya. Bukan tidak percaya atas ilmu kesehatan dunia kawan, tetapi kesehatan sebenarnya berasal dari jiwa. Jiwa yang maaf, kurang bersih pasti akan rentang terhadap penyakit. Bukan memperbandingkan dengan sang suami menteri tadi. Hanya menjadikannya metafora karena menteri tersebut adalah orang yang paling tahu tentang kesehatan dunia. Kotor bukanlah istilah yang sangat jelek dalam persoalan hati kawan. Sebut saja misalnya ustaz Danu mengatakan sering marah-marah, memaksakan kehendak, tidak saling menolong, selalu membicarakan kejelekan orang lain adalah sisi kotor dari dalam jiwa seseorang. Apatahlagi jika hal tersebut terjadi pada diri seorang muslim. Muslim telah dijelaskan bahwa sesungguhnya kita bersaudara.
Olehnya itu, marilah kita selalu menjadikan jiwa kita menjadi bersih, tidak sering marah kepada siapa pun, membantu saudara kita tanpa pandang bulu, senantiasa melakukan suatu pekerjaan dengan ikhlas dan pastinya ibadah kepada Allah, Swt adalah sebuah kunci yang utama. Jika kita senantiasa membersihkan hati, setelah itu ditambah dengan pola makan yang mencerminkan kesehatan, maka Insya Allah kita akan senantiasa diselimuti kesehatan yang datangnya dari Allah, Swt. Bukan sebuah kesehatan yang berasal dari obat-obatan, karena sesungguhnya obat-obatan itu lahir atas izin Allah sang maha Kuasa atas segalanya.
Kematian adalah sesuatu yang telah dipastikan, segala sesuatunya berasal dan akan kembali kepada Allah. Marilah kita menjadikan hidup ini sebagai kehidupan persinggahan yang memberikan manfaat kepada sesama, memberikan keberkahan dan kebahagiaan bagi orang lain, dan pastinya bagi diri kita sendiri. Marilah kita menjalani hidup ini dengan senantiasa mengingat akan kebesaran Allah atas apa yang dipinjamkan kepada kita selama ini.
Semoga Tuhan senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita baik dalam bentuk kesehatan, umur yang panjang, perbuatan baik, serta hal lain yang tak dapat kita sadari.


Makassar, Ahad, 29 Maret 2009

Demokrat

SBY dan Demokrat

Baru 10 menit dari penutupan waktu pencontrengan, Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan TV One yang merupakan TV pemilu mulai menampakkan di layar televisi perhitungan cepat hasil pemilu. Mulai dari angka 0,0 persen dan terus terisi hingga terlihat 0,2 persen, 0, 5 persen dan sampai waktu-waktu berikutnya semakin bertambahlah jumlah persen suara yang masuk dari TPS yang menjadi sampel LSI yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Semakin menanjaknya suara yang masuk yang pada awalnya menempatkan Golkar sebagai partai yang bedada pada posisi paling atas. Di bawahnya ada PDI Perjuangan, dan urutan ke tiga demokrat sebagai partai baru yang mendukung karena sekaligus didirikan oleh SBY.
Hal tersebut hanya berlangsung dalam hitungan menit. Persentase yang masuk pun belum mencapai 2 persen. Saat angka tersebut, Demokrat dengan lambang warna birunya langsung menyalip ke Urutan pertama. Sementara di bawahnya Golkar dan PDIP saling sikut menyikut dan tanduk menanduk. Tiap menit bahkan hanya beberapa detik, Golkar dan PDIP saling berbagi pada urutan dua dan tiga. Sementara di puncak klasemen Demokrat telah melambai khas lambaian Susilo Bambang Yudoyono.
Hal ini menjadi sebuah fenomena dalam perpolitikan Indonesia. Agaknya, di negeri ini, siapa yang berkuasa maka besar sedikitnya pasti memiliki pengaruh terhadap masyarakat. Apa lagi ketika pemerintahannya dianggap memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, walaupun hal itu sangat kecil. SBY sebagai presiden RI saat ini yang sekaligus menjadi dewan penasihat partai Demokrat memberikan bukti nyata tentang itu. SBY bagi demokrat seolah menjadi raja dan merupakan ikon yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tanpa SBY, maka demokrat bukanlah partai apa-apa. Orang bahkan tak mengenal siapa Demokrat, tetapi mereka paham dan simpati terhadap SBY. Olehnya itu, ketokohan SBY sebagai pemimpin perubahan baru di negeri ini telah menjadikan dan membuktikan dirinya bahwa kehadirannya menjadi sesuatu yang didambakan oleh masyarakat. Siapa yang tak kenal Golkar. Terlebih PDI yang dipimpin oleh mantan presiden pertama RI. Kedua partai yang saya sebutkan tersebut memiliki ketokohan dan keterkenalan pada masyarakat yang sangat besar. Hal itu selain dipengaruhi oleh latar belakang keberadaan partai, juga usia partai yang sudah puluhan tahun. Tetapi Demokrat yang baru saja didirikan pada tahun 2001 sangat diuntungkan dengan adanya SBY yang menjadi pemimpin hari ini.
Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi sebuah indikasi bahwa Susilo Bambang Yodoyono akan kembali menjadi calon terkuat Presiden Republik Indonesia periode 2009-2014. sebuah harapan yang sangat besar. Sebuah peluang yang sangat luas. Tak mustahil terbukti. Hasil pemilu hari ini (09/04/09) menjadi sebuah titik tolak hadirnya partai baru di Indonesia yang segera akan menghilangkan keberadaan partai lama dalam pikiran masyarakat.
Bukan berarti hilang secara total. Tetapi keberadaannya semakin terancam dengan partai baru. Harapan mereka untuk kembali memimpin negeri ini sedikit demi sedikit terkikis walau tak menjadi sirna. Hal ini pun disebabkan karena partai baru tak begitu paham terhadap keadaan orang-orang besarnya sehingga orang-orang besar tersebut cenderung berpikir untuk keluar dari partai dan segera membentuk partai baru. Terpecahnya partai-partai orde baru menjadi salah satu penyebab mereka tak mampu lagi untuk mencetak sejarah kemenangan dalam pemilu.
Pun sekarang masyarakat sudah begitu pintar untuk memahami perpolitikan Indonesia walau mereka tak terlibat di dalamnya. Pikiran mereka politik itu identik dengan uang. Tanpa uang, maka politik bagi mereka omong kosong. Jangan harap sebuah bendera dan baliho akan aman terpasang pada ebuah gang-gang kecil ketika tak ada rupiah yang menjaganya di sana. Hal ini membuktikan bahwa dalam pikiran masyarakat, selangkah dan sekata pun ketika itu berhubungan dengan politik, maka ujung dan pangkalnya adalah uang. Hal ini pun direspons positif oleh partai. Mereka juga paham bahwa uang adalah segalanya dalam politik. Dan ada nurani dan tak ada persahabatan dalam politik. Semuanya bisa menjadi kawan, dan bahkan sedetik kemudian berubah menjadi lawan yang siap menerkam kita dari depan dan belakang. Olehnya itu, sangat susah untuk menjadikan sebuah partai menjadi begitu besar, tetapi kemungkinan yang lebih susah lagi adalah mempertahankan suasana partai yang telah besar untuk tetap menjadi kondusif. Hal inilah yang dipahami betul oleh Demokrat sehingga ketokohan SBY menjadi tokoh sentral yang seluruh petuahnya pasti didengarkan dan akan dilaksanakan sampai ke tingkat bawah. Semoga sesuatu hal menjadi semakin baik untuk negeri ini.

Makasar, 09 April 2009

Kampanye

Kampanye

Aku menulis tulisan kita ketika kampanye putaran terakhir dalam rangka pesta demokrasi di Indonesia berlangsung. Setiap hari pikiran saya disesaki tentang kampanye. Koran kompas yang datang setiap pagi pun memberikan suguhan kampanye. Ketika kuputar televisi di pagi hari pun berita kampanye yang mendominasi. Hanya sesekali diselingi berita yang lain. Itupun pembunuhan dan pemerkosaan. Menjijikkan.
Partai yang jumlahnya 38 silih berganti diberitakan mengenai kegiatan kampanyenya. Berbagai macam pola kampanye yang mereka lakukan. Tetapi, yang paling lazim dan paling banyak dilakukan oleh partai adalah berkampanye atau lazim disebut rapat terbuka dengan menghadirkan para jurkam yang disertai dengan hadirnya artis tertentu. Pastinya pengerahan massa yang ribuan hingga ratusan ribu. Tergantung, sebagaimana besar kemampuan besar kemapuan seorang master campaign. Pastinya semuanya akan berujung dengan uang. Prinsip klasik politik kan siapa mendapatkan apa? Itu saja. Sangat sederhana walau mengandung filosofi yang dalam. Hal tersebut secara terus menerus berlaku hingga saat ini, terutama di Indonesia, dan bahkan semakin “menggila.”
Masyarakat kecil pun seakan semakin tahu tentang pameo tersebut. Bahkan, di televisi dan juga di sekitar rumah saya yang kutemui mengaku baukan hanya sekali mengikuti kampanye. Tentunya juga bukan dengan satu partai. Mereka diiming-imingi uang dua puluh ribuan untuk mengikuti sebuah arakan kampanye partai tertentu. Siapa yang tidak mau dalam masa krisis saat ini. Daripada tinggal di rumah memeluk bantal atau menyaksikan pesta kampanye di lelevisi lebih baik pergi untuk menyaksikan artis bergoyang dan menggoyang serta mengisi kocek yang memang susah untuk berisi. Bayangkan saja, jika hal tersebut terjadi pada banyak orang. Artinya, bahwa panggung kampanye yang disebut rapat akbar semakin semu untuk menentukan jumlah kader dan simpatisan sebuah partai.
Kita lihat di Papua, sekelompok masyarakat yang menurunkan atribut partai Gerindra. Apa pasal? Ternyata kasus yang sama. Sehari sebelum kampanye, seseorang datang menjanjikan mereka uang lima puluh ribu rupaih untuk mengikuti kampanye. Tetapi samapi kampanye berlangsung, orang tersebut tak kunjung datang. “Siapa mendapatkan apa?” lagi-lagi. Tetapi itulah sebuah resiko pesta demokrasi saat ini. Semuanya serba semu, yang menentukan pastilah ketika seseorang berada di bilik suara. “Ambil uangnya, jangan pilih partai dan calegnya.” Jawaban itulah yang keluar dari para tetangga saya yang katanya telah mendapatkan uang dari berbagai macam partai politik. Yang pasti, mereka tak akan mengetahui pilihan saya nantinya. Begitulah jawaban masyarakat ketika ditanya tentang kemungkinan mereka untuk mencontreng partai yang telah memberikannya uang. Semuanya semu. Lagi-lagi, siapa mendapatkan apa.
Dari bilik kamarku, aku hanya berharap semoga dari belasan ribu caleg yang sedang bertarung, diantar mereka yang terpilih adalah seorang caleg yang memiliki niat ikhlas untuk sebuah perubahan masyarakat yang lebih baik. Bukan mereka yang “Siapa mendapatkan apa?” semoga.

Makasar, 05 April 2009

पेमिलू

DPD dan Islam

Belum hilang rasanya dalam pikiran kita pemilihan legislatif dan presiden tahun 2004. apalagi saat ini ketika genderang kampanye kembali di tabuh. Peserta semakin bertambah. Sekarang 38 para pejuang yang katanya atas nama rakyat bersaing untuk memperebutkan sebuah kursi yang akan memanjakan mereka nantinya. Itu baru rumah mereka. Belum lagi berapa orang yang menghuni rumah tersebut. Toh, bahkan antara mereka saja saling sikut menyikut untuk menjadi penghuni gedung yang mewah nantinya. Mungkin bukan hanya gedungnya yang mewah, fasilitas yang bersamanya bukan main. Sekarang masyarakat selaku pemilih semakin pusing. Sebelas ribuan orang yang akan mereka pilih untuk menjadi pemimpin. Entah siapa yang akan terpilih nantinya.
Sulsel, politik, dan islam
Suatu yang ironi terjadi di Sulawesi Selatan. Sebuah provinsi yang merupakan wilayah terbesar dan paling terkenal untuk wilayah Indonesia Timur. Berbagai hal di Indonesia Timur bermuara di Sulawesi Selatan. Daerah ini akan semakin menjadi daerah yang jaya dan akan semakin menjadi pemimpin ke depannya. Kita sekarang patut bersyukur atas perkembangan politik di wilayah ini. Telah banyak tokoh dari negeri lagaligo yang telah bersaing dan bahkan memimpin di tingkat nasional. Suatu yang fantastis. Salah satunya saja, Yusuf Kalla yang sekarang menjadi wakil presiden, sekaligus pemimpin tertinggi partai Golkar. Alhasil, pengusaha tersebut pun sekarang ini sedang dijagokan untuk menjadi calon presiden. Waktu yang akan menjawabnya.
Kembali kita menilik peristiwa pemilu 2004. pemilu 2009 belumlah berlangsung, olehnya itu pun belum layak untuk dipastikan hasilnya. Setiap detik politik untuk 2009 berubah 180 derajat. Kuota Calon Dewan Perwakilan Rakyat Sulawesi selatan periode 2004 adalah sebanyak empat orang. Dianggap sebagai kuota yang cukup untuk mewakili wilayah yang kaya akan segalanya tersebut. Tapi, kami sebagai umat muslim sedikit mesti mengusap dada dan merenungkan untuk masa depan kita sebagai umat islam dan sekaligus sebagai agama yang jumlahnya paling besar di Indonesia. Dari empat orang yang lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Sulawesi Selatan, dua orang diantaranya adalah nonmusim. Tidak perlulah aku sebutkan agamanya kawan. Bukan saya tidak memiliki solidaritas, bukan pula bahwa islam yang harus berkuasa, juga bukan menjastis bahwa islamlah yang harus menjadi pemimpin di negeri ini. Hanya memberikan pemahaman perlunya umat muslim untuk menyatukan pendapat dan pandangan untuk masa depan yang lebih baik.
Sembilan puluh sembilan persen lebih umat islam bercokol di Sulawesi Selatan. Toh yang berhasil untuk berada di Dewan Perwakilan Rakyat hanyalah dua orang. Sama dengan wakil dari agama lain yang jumlahnya sangat minoritas di wilayah ini. Sekali lagi maksud tulisan ini hanya untuk renungan bagi umat islam. Akankah sebuah perubahan terjadi bagi diri kita ke depannya. Atau masa di mana kita akan kembali pada zaman di mana islam hanya menjadi penonton dan pengikut untuk sebuah perubahan dunia.
Dua puluh hari lagi kita akan mencoblos perwakilan masa depan di negeri ini. Berbagai macam kampanye telah tersaji di depan mata. Berbagai bentuk janji-janji yang kebanyakan palsu silih berganti masuk di telinga kita. Jangan tanya tentang uang. Jumlahnya tak terhitung lagi. Dua puluh ribuan sekali kampanye hingga jutaan rupiah untuk orang-orang yang dianggap mampu mendatangkan massa. Belum jelas akan memilih siapa yang jelasnya datang dalam pesta keramaian yang mempertontonkan aurat dan goyangan erotis. Para simpatisan lebih sering berjingkrak-jingkrak seperti cacing kepanasan ketika yang hadir di panggung adalah artis yang notabene juga sebagai pemilih dibandingkan ketika yang hadir adalah para caleg dari partai tersebut. Entah akan kemana dan bagaimana negeri ini. Kalianlah yang akan menentukan kawan. Semuanya akan terjadi pada bilik yang lebih sempit daripada kertas suara yang ada. Tapi, sebuah kepastian bahwa kita harus memilih untuk semuanya. Mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, Pusat hingga Dewan Perwakilan Daerah. Semunya telah saling bersaing dengan janji yang terkadang aneh bin ajaib. Akankah kembali islam hanya menjadi pemenang minoritas atau bahkan yang akan mewakili kita bukanlah berasal dari seagama kita. Entah, dan kalianlah penentunya. Sekali lagi. Tanggal 9 April 2009 tepat hari kamis, kita akan berada pada bilik tersebut dengan istilah pencontrengan. Contreng......contreng.....contreng. jangan lupa untuk masa depan kawan.


Makasar, Akhir Maret 2009

Pemilu

Caleg Bodoh

Samar-samar suara hasil pemilu yang berasal dari Tempat Pemungutan Suara sudah muncul di KPPS Kecamatan. Samar-samar pula setiap calon legislatif tingkat kabupaten, provinsi, pusat serta Dewan Perwakilan Daerah mengetahui jumlah perolehan suara mereka. Ditambah dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat sehingga mereka semakin yakin atas perolehan suara tersebut. Akhirnya jelaslah apa yang terjadi pada diri caleg. Pastinya ada yang begitu berbahagia, ada pula yang santai saja, dan pastinya ada yang sangat kecewa, depresi, bahkan sampai ada yang stres. Yang bahagia adalah mereka yang telah mengeluarkan uang dengan begitu besar yang diimbangi dengan perolehan suara yang juga mengantar mereka ke kursi empuk. Mereka yang bersantai saja adalah mereka yang tak mengeluarkan dana begitu besar, sementara mampu mendulang suara yang begitu besar. Nah, pastinya yang kecewa adalah mereka yang tak terpilih pun karena modal mereka pas-pasan. Yang depresi adalah mereka yang telah mengeluarkan uang tetapi tak mampu mendulang suara. Sedangkan yang stres sampai diantar ke rumah sakit jiwa adalah para caleg yang telah mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar sementara tak sebanding dengan suara yang mereka peroleh.
Anehnya lagi, beberapa caleg di negeri ini bukan hanya mengalami gangguan jiwa, tetapi ada yang lebih dari itu. Ada diantara mereka yang sudah jauh dari sisi kemanusiaannya sebagai makhluk sosial. Sebut saja di papua, seorang caleg yang meminta pengembalian karpet yang telah diberikan kepada para ibu majelis taklim yang berjumlah 20 orang di daerah tersebut. Padahal dari 20 orang yang menjadi anggota majelis taklim tersebut hanya satu orang yang tak memilihnya. Pun itu karena dia sakit sehingga tak mampu datang ke TPS tetapi memilih untuk pergi berobat di rumah sakit daerah.
Belum lagi di daerah Cirebon. Seorang caleg yang meminta pengembalian 8 zag semen yang telah disumbangkan untuk perbaikan jalan warga setempat. Akhirnya, karena kalah dia mengutus orang-orangnya untuk meminta kembali semen tersebut. Maka pak RW lah yang arus merogoh koceknya sendiri karena semen yang disumbangkan telah digunakan oleh warga. Sesuatu yang memalukan dan sekaligus memilukan. Dua cerita di atas hanyalah bagian kecil dari apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat caleg.
Artinya, betapa malang negeri ini dengan sistem demokrasi yang terus seperti itu. Orang, siapa pun dia, dengan bebas mendaftar ke partai politik untuk menjadi calon anggota legislatif. Pun tak ada pengaderan yang jelas yang dilakukan oleh partai politik saat ini untuk memberikan bekal kepada orang-orang yang bergabung dalam lingkaran “setan” mereka. Ditambah dengan banyaknya orang yang berkeinginan mendirikan partai dengan modal ketokohan serta perasaan tersisi dari partai yang selama ini menaungi mereka.
Sebutlah partai-partai baru yang berhasil menduduki urutan sepuluh besar dalam daftar perolehan suara nasional saat ini (pemilu 2009). Partai-partai tersebut dibuat dan dibentuk oleh orang-orang yang telah bergabung dengan partai yang besar sebelumnya. Karena tak mendapatkan tempat yang layak pada partai yang ditempatinya, akhirnya mereka mengambil haluan untuk sesuatu yang lain dengan membentuk partai sendiri dan dirinya menjadi sesepuh di sana. Itulah sebuah sistem keinginan karena memang seperti itulah hakikat seorang manusia. Apalagi manusia yang hidup dalam zaman perpolitikan nasional yang sangat panas dan semakin jauh dari tujuan menjadikan kesejahteraan sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini jelas terbukti dengan banyaknya caleg yang depresi, stres, dan sampai bunuh diri karena ketakmampuan mereka menerima kenyataan. Artinya, bahwa yang mereka inginkan memang dari awal bukanlah menjadikan rakyat sejahtera dengan berbagai jalan perjuangan, tetapi yang tertanam dalam benak mereka adalah kursi empuk bergengsi dan berbayar mahal tersebut serta fasilitas lain yang pasti sangat mengasyikkan dan terus membayang dalam benak mereka. Harapan saat ini adalah semoga mereka yang lahir dari pemilu ini dan nantinya akan dewasa dalam panggung DPRD, DPR serta DPD nantinya. Semoga di saat mereka duduk dalam kursi yang banyak membuat orang “gila” tersebut juga tak berubah menjadi gila. Jangan sampai yang gagal dan yang lolos memiliki karakter yang sama, yaitu sama-sama “gila”



Makasar, 17 April 2009

Kamis, 26 Maret 2009

जंगन Sombong

BUKAN AKU YANG SINGAPURA
@rmin


Aku baru saja terbangun dari lelap kurang lebih dua belas jam. Perjalanan yang jauh, namun tidak melelahkan. Scania menjadi ikon mobil yang membawa kami melaju menyusuri dinginnya malam. Ditambah kehadiran AC di atas kepala kami semakin membuat dinginnya malam terasa. Di luar terlihat gelap. Hanya sesekali kami melihat temaram lampu jalan dan juga dari rumah para warga. Untung saja, selimut bercorak garis biru merah terpampang rapat pas di belakang kami. Pun bantal yang bertuliskan New Liman setia berada dalam pelukan yang membuat perjalanan tak terasa. Baru saja beberapa jam yang lalu kami mengajar. Tentunya pada sebuah sekolah favorit, walau letaknya nun jaug di ujung Luwu Timur. Kawan, kalian pasti mengetahuinya. Siapa lagi kalau bukan sekolah binaan PT Inco yang telah lebih 30 tahun bercokol di negeri ini. Menguras Nikel Indonesiai untuk dikirim ke luar negeri. Aku yakin, mereka salah tapi aku tak punya daya. Yang kumiliki hanya memanfaatkannya untuk mengisi kantong pribadiku. Malam ini pun aku aku duduk pada kursi paling mewah untuk deretan bus penumpang di sul-sel karena ajakannya. Ya PT Inco.
****
Jalan-jalan yang tak begitu bagus terus disusuri oleh mobil itu. Walau lurus, kondisinya yang berlubang membuat kami sesekali merasakannya. Kawan, sepertinya jalan itu dalam perbaikan. Aku yakin suatu saat ketika melewatinya maka akan merasakan suatu yang berbeda. Pasti akan lebih nyaman. Beberapa waktu setelah aku terbangun mobil segera menepi. Sudah kebiasaan bagi sang karnet memahami setiap sopir meminggirkan mobilnya. Betul, dia langsung berteriak “salat subuh”. Para penumpang yang kebanyakan islam segera bergegas. Pun tidak semuanya yang islam. Ada diantara mereka yang malah mengambil selimut dan merangkul bantal untuk semakin memperbaiki posisi tidurnya. Kami masih berada pada posisi orang yang memiliki iman. Dengan segera kusibakkan selimut yang entah aku orang keberapa memakainya. Teman yang di dekakku yang selama ini kupanggil dengan nama K Syawal pun segera mengikuti gerakanku. Kami memang selalu memiliki perilaku yang sama ketika sama dalam perjalanan. Bahkan yang ada dalam benak pun ketika memandang objek yang sama terkadang memiliki pemikiran yang sama.
***
Sedikit kuceritakan kawan. Suatu hari, kami berdua mengajar pada sebuah sekolah. Juga untuk bimbingan. Tak usah kusebutkan sekolahnya. Setelah tiga jam mengajar kami keluar pukul 12.00. seperti biasa yang pertama kami lakukan adalah mencari pengganjal perut. Aku menyebutnya seperti itu, karena makanan yang tersedia sangat tak bergizi. Juga begitu dipaksa untuk mengenyangkan. Tak sesuai dengan selera leher kami berdua. Bukan sombong kawan. Kami lebih menyukai sayuran hijau dan juga ikan dari laut. Sederhana. Setelahnya, kami bergegas pada sebuah musallah yang memang telah disediakan di sekolah itu. Pastinya. Kami adalah orang yang sekali lagi masih berada dalam lingkaran iman. Walau tak setebal iman para kiayi sekondang AAGym, Zainuddin MZ, Jefry, dan juga Gusdur. Buktinya, setelah siap dengan posisi berdiri dan aku telah iqamat, maka entah sengaja atau setan yang memaksanya lewat di depan kami, tiba-tiba seorang melewati pinggir musallah. Musalahnya tak berdinding karena menyatu dengan sebuah ruang kelas. Perempuan pastinya. Dia menggunakan baju biru lengan panjang saat itu. Di bawahnya jeans panjang membalut sampai di lutut. Sedikit ketat. Sebelum dia takbir, dia menoleh kepadaku, tersenyum. Aku membalas senyuman itu walau tak ada sesuatu yang lacu. Dengan segera astagfirullah menyumbar dari mulut kami berdua. Pandangan segera diarahkan ke lantai. Takbir. Akhirnya dimulai juga. Kami shalat dengan sedikit pikiran yang kurang bagus. Setelahnya tak lupa kami berdoa kemudian mebahas makna senyuman tadi. Ternyata sama maknanya. Mungkin juga kawan yang membaca cerpen saya ini. Dari situlah sehingga aku paham bahwa kami berdua memang sehati dan terkadang semakna dalam objek yang sama. Apalagi wanita. Walau dia telah menikah. Aku yang belum. Tapi, sama saja. Menikah hanya persoalan kedewasaan. Pikiran tak mudah untuk berubah. Kenyataan yang selalu mengubah pikiran.
***
Setelah, salat maka kami segera pada posisi semula. Baru saja aku selangkah dari pintu mobil, mataku terpajang pada wajah putih. Walau wajah itu bukan putih alami. Pikiranku mengingat wajah itu. Ikatan rambutnya pun sama. Terkumpul ke belakang dan diikat di bagian tengah sehingga ujung-ujungnya terjungkai ke bawah. Tak jauh beda dengan ekor kuda. Aku teringat bahwa perempuan muda itu bersamaku ketika menuju ke tempat ini. Pun pulangnya mata kami kembali bertemu. Tiada rasa di sana. Hanya saling mengikat bahwa kemarin kita semobil dan malam ini juga sama. Segera aku menuju pada kursi yang sedikit berada di belakangnya. Nomor empat belas kursi saya. Dia sepuluh. Segera setelah duduk kucerikan sesuatu pada K Syawal. Dia dengan daim mendengar. Sesekali keluar suaru mengiyakan bahwa dia paham dan masih mendengar cerita saya. Kuceritakan padanya tentang perempuan itu dan dia hanya tersenyum. Aku kemudian melanjutkan. “Kak, dengan suara berbisik, bagaimana kira-kira ketika saya turun di bandara dan mengatakan pada kita sampai jumpa di Singapura lusa. Pasti perempuan itu sontak agak kaget.” Dengan lantang kak Syawal menjawab, “Iya..ya, dan aku mengatakan besok kan aku masih di Malaysia jadi benarlah lusa kita ketemu di sana.” Dia menmbahkan. Aku tersenyum. Tak terasa mobil berbelok. Aku terhenyak. “Kak, betul kan mobil ke bandara, tapi siapa yang turun ya.” Hatiku mulai bertanya-tanya. Kak Syawal yang dampingku tersenyum. Dalam hatiku moga saja bukan perempuan itu yang turun. Ketika dia, maka betapa bodohnya saya dan pastinya syawal akan menertawakn saya. Mobil segera terparkir di depn jejeran penjual tiket masing-masing maskapai penerbangan. Di depan mobil kami Trnas telah lebih dulu parkir. Dengan segera sang karnet yang sekali lagi sudah paham berteriak, “bandara”. Tak lama kemudian dari belakang turunlah beberapa orang laki-laki. Nyatanya, terakhir perempuan yang memiliki rambut ekor kuda tersebut menyusul paling belakang. Ternyata mereka sekeluarga, hanya berpisah tempat duduk. Tak sama dengan kami yang satu posisi. Syawal segera menatapku diikuti cemooh. Aku paham pikirannya. Perempuan itu segera mendekati line garuda. Pastinya untuk membeli tiket. Sekali lagi kupandang perempuan muda itu untuk memastikan betul dia di di sana. Ya, mataku tak salah, walau lama terlelap semalam. Dia perempuan yang kuceritai tadi. Kak Syawal di sampingku hanya terpingkal-pingkal tanpa henti. Bahkan penonton yang lain agak heran. Toh mereka tak paham. Aku duduk terapku. Mataku menerawang pada langit-langit mobil yang hanya satu warna. Air liurku tertahan di tenggorokan. Nafas tak beraturan. Darah tak mengaliri semua arteriku. Malu. Hanya kata itu yang ada dalam pikiran. Juga hati mengiyakannya walau dengan degupan. “Hah...kenapa aku begitu bodoh menilai diri sendiri dan orang lain.” Syawal masih terpingkal. Bahkan air matanya hampir saja keluar gara-gara tawa. Hanya senyuman kecil yang keluar dari bibirku yang beku. Ternyata bukan aku yang ke Singapura. Tapi, kawan, sabarlah suatu waktu kalian akan membaca cerita saya tentang Singapura. Aku harus ke sana. Entah kapan kawan.


Makassar, 17 Maret 2009

Kontemplasi

TELEVISI DAN PONARI

Masih begitu teringat akan siapa Ponari. Akan kejadian yang menghebohkan di Jombang. Bukan kasus korupsi, juga bukan kasus bencana alam. Pun juga bukan kasus kekerasan, pembunuhan, pencurian, perampokan, dan lain hal yang selama ini menghiasi pertelevisian kita. Tetapi yang hadir adalah dukun cilik yang bernama Ponari. Tetapi itu di Jombang. Kemunculannya begitu membuat kita tercengang. Betapa tidak ribuan orang yang hadir untuk berobat di sana. Mereka sampai berdesakan dan akhirnya ada yang tewas. Bukannya kesembuhan yang mereka peroleh tetapi kematian yang segera mejmeput. Belum lagi si Dewi dan juga St. Romlah yang ketiganya berada di Jombang Jawa Timur. Ketiga orang tersebut melakukan praktik pengobatan dengan menggunakan batu ajaib. Ada yang katanya batu petir, pun muncul kembar batu petir Ponari dan juga batu bertuan yang katanya bisa berbicara. Semuanya diserbu ribuan pasien yang kebanyakan berasal dari masyarakat miskin. Rumah ponari yang begitu sederhana dikerumuni oleh berbagai etnis dan asal daerah yang ingin berobat. Polisi bahkan kewalahan dan kehabisan akal untuk menghentikan praktik pengobatan yang belum bisa diterima secara medis tersebut. Bahkan ada masyarakat yang begitu gila dengan mengambil (maaf) air got, tanah, dan apa saja yang terdapat di sekitar rumah ponari.
Maret 2009, Makassar juga dikejutkan dan bahkan ditantang dengan hadirnya dukun cilik yang masih duduk pada bangku kelas 1 SMP. Dia bernama Randi Wijaya Kusuma. Nama yang lebih modern dibanding dengan nama dukun sebelumnya. Tetapi, itu hanya nama. Perbuatan dan praktiknya sama. Sama-sama mengobati pasien dengan medium sebuah batu. Katanya, batu itu berbentuk bulat lonjong seperti telur dan menghasilkan minyak. Minyak itulah yang dijadikan sebagai bahan pengurut kepada pasien. Sedikit lebih rasional dibandingkan dengan yang hadir sebelumnya. Ponari, dkk di Jombang hanya mencelupkan batu pada air yang sudah dibawa oleh masing-masing pasien. Sedangkan si Randi menjadikan minyak tersebut sebagai alat untuk mengurut pasiennya. Juga dihadiri oleh ratusan orang.
Kekayaan Ponari
Selama 22 hari Ponari praktik dan setelah itu pihak keluarganya meminta untuk segera ditutup. Media memberitakan bahwa kekayaan ponari sudah begitu melimpah. Bayangkan, setiap hari antara 30 sampai 40 juta yang berhasil terkumpul dalam celengan sang dukun cilik. Kawan, kalianlah sendiri dan dapat menghitung hasilnya. Betapa banyak uang yang didapatkan oleh Ponari dari pengobatan irasional tersebut.
Entah untuk Dewi dan St. Romlah. Berapa uang yang mereka berhasil raup dari pengobatannya itu. Suatu hal yang mungkin saja membuat kita miris menyaksikannya.

Peran TV
Kemunculan Ponari dengan berbagi berita yang kontroversial pasti akan membuat orang yang percaya dengan semua itu berpikir. Dengan munculnya dukun cilik tersebut membuat orang berpikir pintas untuk menjadi kaya. Betapa bodohnya orang untuk diperbodoh. Betullah pesan orang tua saya, “Nak di dunia ini hanya orang yang akan diperbodoh yang kurang, yang menginginkan untuk memperbodoh begitu banyak.” Pesannya ketika aku akan meninggalkan kampung halaman. Erat aku pegang pesan itu. Pascapemberitaan kekayaan Ponari maka muncullah si Dewi, si Romlah, dan terakhir muncul di Makassar. Kemunculan semua itu karena peran televisi yang begitu bergairah untuk memunculkan berita yang memiliki pengaruh dari segi mistik yang sangat kuat. Televisi telah begitu besar mengambil peran untuk kebodohan masyarakat. Televisi dengan begitu bebas memperlihatkan apa saja yang ingin diberitakannya. Tidak pernah berpikir tentang dampak dan juga akibat yang akan muncul pascapemberitaan tersebut.
Saat ini, masyarakat Indonesia berada dalam kegamangan. Begitu mudah untuk terpengaruh tentang apa saja. Kehadiran televisi pun dianggap sebagai dewa bagi kebanyakan masyarakat. Tak sah rasanya ketika masyarakat hidup tanpa televisi.
Kami tinggal berharap akan kehadiran sang pengawas dan kekonsistenan dari Komisi Penyiaan Indonesia (KPI). Semuanya tinggal diharapkan dari situ. Peran pemerintah dalam memberikan kontrol pertelevisian untuk kelangsungan kehidupan rasional masyarakat sangat diharapkan. Semoga semuanya bisa berjalan sesuai dengan etika keagamaan, sosial, dan kehidupan toleransi.

Makassar, Maret 2009

Pelajaran Hidup

Pelajaran pertama

Di luar ruangan panas menyengat dan begitu terasa. Panasnya sampai menyilaukan pandangan di dalam ruangan. Cahayanya menyelinap di dinding yang berkusen besi. Sesekali pintu terbuka karena ada orang yang datang. Dengan sigap pak Satpam yang di dadanya bertuliskan nama Syamsul Bahri menyapa setiap pengunjung yang datang. Aku yang sedari tadi menatap tingkah pak Satpam menerawang saja pada masa kehidupan datuk Maringgik. Syamsul Bahri sebagai tokoh utama. Aku berpikir bahwa nama itu diambil oleh ayahnya dari cerita Sumatra tersebut. Betapa terngiangnya cerita itu hingga mereka mengabadikannya menjadi nama seorang anak yang pasti dicintainya. Dan sepengetahuan saya, dari deretan orang yang pernah kutemui dan namanya Syamsul Bahri pastilah perangainya tidak mengecewakan. Walau mereka hanya berprofesi sebagai Satpam tak menyurutkan niatnya untuk berperilaku baik. Toh, siapa sebenarnya yang sering merendahkan profesi Satpam itu. Di bank, satpan dengan setia membuka pintu bagi orang yang datang silah berganti. Hendak kelaur pun kita tidak pernah dibiarkan untuk memegang gagang pintu. Dengan sigap Pak Satpam akan membuka dan menyertai langkah kita dengan senyuman. Bukan main kearifan dati sang Satpam. Sebuah jabatan yang kebanyakan orang mengnggapnya sebagai jabatan rendahan.
Coba Anda pikirkan kalau saja Satpam itu tidak ada. Maksudnya yang saya ceritakan ini adalah Satpam yang memiliki sifat jujur dan jiwa yang bertanggung jawab. Bukan Satpam yang malahan bekerja sama dengan pencuri untuk mencuri harta majikannya. Tetapi, itu hanya segelintir terjadi. Di sinilah kehidupan dan kearifan mesti kita pahami. Seorang membangkang dan berbuat sesuatu yang lain dari apa yang diperintahkan oleh ‘bosnya’ adalah kerana merasa tidak nyaman dalam kehidupan yang dijalaninya. Artinya, seseorang yang mempekerjakan seorang Satpam mestinya paham bahwa profesi itu sangat penting. Sama pentingnya dengan profesi yang lain. Misalnya saja kepala pemasaran, kepala administrasi, dan bahkan jabatan sekaliber diretur pun. Apapun profesi dalam sebuah kinerja yang membutuhkan kelompok, maka kita harus saling menghargai dan memahami bahwa posisi yang kita duduki adalah sebuah posisi yang sama dalam kinerja tersebut. Hanya persoalan objek pekerjaan yang berbeda.
Ketika seorang Satpam misalnya, tidak hadir dalam sebuah perusahaan yang membutuhkan pengamanan dan penjagaan, maka bagaimana kekhawatiran besar yang akan terjadi pada pemilik perusahaan. Mungkin saja dari delapan jam waktunya yang mestinya dia gunakan untuk tidur akan terkorting selama empat jam hanya untuk mengawasi perusahannya. Belum lagi ketika dia terbaring di atas springbed yang bermerek ‘king koil’ tak akan tenag karena pikirnannya akan mengingat keberadaan perusahannay.
Kita mesti paham dalam pelajaran hidup nomor satu bahwa sesungguhnya apapun posisi kita dan posisi seseorang dalam sebuah medan pekerjaan—pekerjaan apapun itu—kita mesti paham bahwa semuanya berada pada level dan tanggung jawab yang sama. Ketika hal ini terjadi dalam hidup kita, maka yakin saja bahwa dimana pun kita bekerja akan memberikan kenyamanan bagi diri sendiri dan pastinya juga untuk orang lain.


Makasar, 10 Maret 2009

Cerita

Menikah

Entah kenapa pernikahan itu menjadi suatu yang diinginkan oleh semua orang. Seberapa enaknyakah pernikahan itu. Telah banyak orang yang aku temui dan menanyakannya tentang pernikahan. Sembilan puluh persen dari mereka menjawab bahwa pernikahan adalah sesuatu yang mengasyikkan. Tetapi ketika aku melanjutkan untuk mempertanyakan keasyikannya, tak banyak diantara mereka yang mampu untuk mengungkapkannya. Sebagain yang lain mengatakan tidak cukup kata untuk merangkai semua yang kita dapatkan. Aku hanya terheran sendiri.
###
Siang itu, aku baru saja pulang dari sekolah. Mengajar tentunya. Suatu rutinitas yang setiap hari saya lakukan. Terkadang menjemukan, tetapi lebih banyak mengasyikkan. Belum lagi ketika awal bulan telah tiba, maka keasyikan itu semakin menggunung. Seperti biasa aku begitu suka membaca koran Kompas di dalam kamar sambil sesekali melihat-lihat dua ekor ikan yang aku pelihara dalam akuarium. Maklum, aku begitu mencintai binatang. Koran yang kubaca, kompas tentunya. Kulihat judul besar disana “Suami bakar istri”. Aku tiba-tiba terperanjak. Kulupakan berita-berita politik yang semakin hangat. Kulirik dan kulototi berita tentang suami istri tersebut. Kupandang dengan semakin jelas. Tidakkah saya salah membaca judul. Ah,…tetapi mataku belum begitu rabun dengan tulisan sebesar itu. Dengan segera kutelusuri isi berita, dan ternyata benar. Di Jawa, tidak usah kusebutkan nama daerahnya, seorang suami begitu tega membakar istri hanya karena alasan ekonomi. Ketidakmampuan sang suami memberikan nafkah lahir kepada sang istri setiap harinya. Begitu dangkalkah pemikiran sang suami atau itukah sebagian dari kenikmatan pasangan suami istri?
Keeseokan harinya, masih pada koran yang sama kutemukan berita tentang seorang tentara yang membunuh istrinya. Tapi, masalahnya lain. Tentara membunuh istrinya karena dia kedapatan selingkuh. Sudah terbukti bersalah, malah nekat lagi untuk membunuh istrinya sendiri. Tentara itu aparat negara! Atau karena begitu setianyakah mereka kepada negara sehingga istri merekapun menjadi sesuatu persoalan kecil untuk dia bunuh? Masalahnya tidak di situ kawan. Istri ada karena proses pernikahan. Pernikahan yang disakralkan. Dilandasi dengan perasaan cinta. Belum lagi diawali dengan pertunangan yang begitu indah. Kembali aku berpikir bahwa mungkin itulah sebagian dari kenikmatan perkawinan.
Aku menulis cerita ini karena tahun ini aku juga akan dinikahkan. Lebih jelasnya juga sudah ingin menikah. Baru sebuah rencana. Tetapi, aku sangat yakin dengan rencana itu. Aku terus berpikir untuk menjadikan sebuah pernikahan menjadi suatu yang sakral untuk selamanya. Bukan hanya dalam proses ijab kabul sampai berbulan madu. Tentunya di dalamnya adalah malam pertama. Ehhh…aku tahu pikiran kalian. Aku berharap bahwa yang kudapatkan adalah pasangan dalam hidup seumur hidup. Pasangan yang dapat menjadikan hubungan kita sebagai sesuatu yang indah. Pasangan yang terhindar dari hal-hal yang negatif. Apapun itu. Aku yakin, semuanya telah diatur oleh Tuhan. Pun aku yakin bahwa Tuhan Mahaadil akan semuanya. Tuhan, doaku ketika tahun ini memang betul sebagai tahun di mana Engkau mempertemukan antara aku dengan jodoh yang engkau kehendaki, maka jadikanlah kami sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Jadikanlah kami sebagai pasangan yang akan senantiasa berada di jalanmu. Jadikanlah keturunan kami sebagai keturunan yang berbakti dalam menjalankan perintahmu, kepada kami, juga kepada seluruh umat manusia.

Kamarku, SY 09 Maret Pagi 2009

Renungan

Lagi-lagi Obama

Baru saja dua bulan Obama dilantik. Ya, Januari lalu jutaan orang memadati acara pelantikannya. Tamu dari berbagai negara pun berdatangan untuk menyaksikan catatan sejarah dunia tersebut. Tak lepas pula kaum masyarakat lemah yang begitu antusias untuk menyaksikan pelantikan tersebut walau harus terhalang dan mengurungkan niatnya karena mereka tidak mendapatkan tiket dan memang ‘tidak layak’ untuk menyaksikan perhelatan tersebut. Al hasil panitia pelantikan menyiapkan layar lebar di setiap sudut sehingga semua orang yang hadir dapat menyaksikan peristiwa tersebut walau lewat layar.

Ketokohan obama
Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat berbahagia dan juga berbangga atas pelantikan obama. Presiden SBY pun menyampaikan pidato untuk mengucapkan selamat kepadanya. Café-café di Jakarta memasang latar dan suasana yang sangat hangat tentang Obama. Bahkan di SD Menteng sebagai tempat dimana Obama menimba ilmu Sekolah Dasarnya, juga diadakan acara khusus untuk merayakan pelantikannya tersebut

Obama sekarang
Dunia seakan tak akan melupakan Obama dan peristiwa yang dijalaninya. Di Indonesia, di toko-toko buku, dengan mudah kami mendapatkan buku yang membahas tentang Obama. Entah karena ketokohannya, perjuangannya, cita-citanya, dan bahkan kontroversi agamanya. Semuanya dengan warna dan judul yang berbeda-beda. Pun dengan harga yang bervariasi dan cenderung agak istimewa.
Sebulan lagi tepatnya sembilan April Indonesia akan melakukan perhelatan akbar yang menghabiskan dana triliunan rupiah untuk memilih para wakil rakyat. Saat ini adalah saat kampanye. Di mana Obama lagi-lagi menjai ikon yang seakan digunakan untuk meraup suara bagi para caleg atau partai kontestan pemilu. Ada yang memasang Obama tepat berdampingan dengannya. Ada pula yang sekadar meniru foto Obama. Bahkan ada yang terlihat sambil jabat tangan dengan Obama. Di sudut lain seorang caleg sedang berangkulan dengannya. Padahal semua itu hanya permainan animasi dalam komputer. Tak satu pun caleg yang memasang Obama dalam balighonya pernah bertemu langsung dengan presiden ke-44 Amerika tersebut. Sekali lagi, karena ketokohannya dan kemampuannya untuk meraup kemenangan besar di pemIlu Presiden Amerika bulan Desember lalu.

Obama dalam iklan
Lain lagi cerita yang terjadi dalam dunia periklanan. Iklan sebagai sebuah cara yang dianggap paling tepat untuk memperkenalkan produk. Bisa melalui Koran, majalah atau radio. Tetapi, yang paling dianggap efektif adalah beriklan melalui media elektronik berupa TV. Televisi yang telah membenak dalam kehidupan masyarakat Indonesia mampu untuk menjadi jalan memperkenalkan produk dengan jalan yang sangat efektif. Peluang berhasilnya iklan tersebut sangat besar. Apatahlagi jika iklan yang dibuat oleh masing-masing podusen mampu untuk memanifulasi pikiran penonton sehingga kehadirannya selalu ditunggu. Tak bisa dipungkiri bahwa ketika kita menonton televisi dan iklan segera datang, maka dengan cepat remot akan memencet perpindahan stasiun yang tidak sedang beriklan. Tentu saja ini bisa merugikan media iklan. Tetapi jika iklan tersebut selalu teringat oleh kita dan bahkan siaran dimana iklan tersebut diputar, maka kehadirannya akan ditunggu oleh masyarakat.
Sebuah iklan kerupuk yang menampilkan seorang ibu dengan anaknya adalah salah satu yang menyita perhatian. Di sana kita lihat seorang balita berteriak Obama dengan bahasa sendiri sebagai anak-anak. Anda bisa membayangkannya. Ibu anak tersebut terkejut karena dia menganggap bahwa anaknya memanggilnya dengan mengatakan omama. Dia begitu heran karena anaknya tidak berlari ke arahnya. Melainkan berlari ke Obama. Dalam iklan tersebut bukanlah wajah asli Obama tetapi seorang asli Indonesia yang hanya memiliki muka yang agak mirip. Hanya agak mirip. Hoki orang tersebut tidak berhenti sampai di situ. Iklan minyak goreng merk Sanco juga menjadikannya sebagai ikon. Lagi-lagi gaya bahasanya mirip dengan Obama. Berselang beberapa menit, ketika saya mengganti stasiun televisi juga sedang beriklan. Betapa kagetnya saya ketika wajah yang ada pada iklan krupuk, dan minyak goreng tersebut juga kembali muncul. Dengan wajah, cukur, dan pakaian yang sama. Tetapi yang dia iklankan berbeda. Kali ini dia memerankan diri sebagai Obama yang sedang berada di luar negeri. Kemudian orang-orang dikampungnya meneleponnya dengan begitu serius. Saling bergantian orang-orang meneleponnya. Sesekali terlihat dalam layat televisi terbagi dua dengan wajah yang berbeda saling bercerita dalam telepon. Satu tujuan menelepon orang yang mirip Obama tersebut. Akhir dari iklan tersebut muncullah tulisan Simpati Pede. Lagi-lagi Obama. Saya kemudian tersenyum sambil memikirkan bagaimana ketika iklan tersebut dilihat oleh Obama presiden ke-44 Amerika Serikat. Mungkinkah dia akan jengkel karena namanya dikomersialkan. Mungkinkah dia merasa bangga karena ternyata banyak orang yang mengaguminya dan terpengaruh dengan dirinya. Atau mungkin dia akan menertawai kita karena kita begitu membanggakannya sementara kita hanya tetap berjalan di tempat. Semoga tidak kawan.



Kamarku, SY, 08 Maret 2009

Jumat, 06 Maret 2009

सर्पं

Gegap

Malam belum begitu terasa. Aku baru saja pulang dari sebuah pusat perbelanjaan. Pun baru saja menjengut ibu kos teman saya yang baru saja mengeluarkan beban yang selama ini berada dalam perutnya. Beban yang membuahkan kebahagiaan. Beban yang telah disandangnya selama sembilan bulan akhirnya keluar melalui proses yang mendebarkan. Bukan saja dirinya yang berdebar. Suami, kecil, tinggi, rambut agak lembut begitu setia menemani meringankan beban yang selama ini dibawahnya. Toh, beban itu diakibatkan oleh sang suami tercinta. Perlakuannya dalam masa-masa yang mengasyikkan juga akhirnya membuahkan suatu kebahagiaan dan keasyikan tersendiri. Itulah hakikat suami istri. Di antara kemesraannya harus hadir orang ketiga yang akan semakin merekatkan kemesraan itu. Aku masih samar-samar mengingat ketika aku masih kecil dulu. Saat itu ibuku menggendongku dengan manja. Terkadang dia berusa meninabobokkanku walau aku masih juga belum ingin memejamkan mata. Tiba-tiba pintu belakang berbunyi. Bunyi yang berarti ada orang yang sengaja mendorongnya. Tak lama masuklah ayah dengan kepalanya yang tidak rata ditumbuhi rambut. Mungkin karena dia begitu banyak menanggung beban pikiran untuk ibu dan pastinya juga untuk saya. Dengan segera dia mendekap ibu dari belakang dan ibu pun membalasnya dengan senyuman. Ibu seakan mencurigaiku lalu dengan erat memelukku dan ayah yang juga begitu rindu denganku juga ingin mencium kening masih lembut tanpa jerawat dan juga tanpa biang keringat. Akhirnya bukan pipi saya yang tersentuh oleh ciuman mereka, tetapi bibir mereklah yang saling mengecup dengan menggunakan medium muka saya. Ayah dengan segera menarik kepalanya dan memegang ubun-ubun saya. Tingkahnya agak aneh. Mungkin sedikit malu, tapi entah kepada saya, kepada ibu, atau hanya kepada dirinya sendiri. Ibu hanya tersenyum sipu sambil menahan suara yang sebenarnya ingin keluar. Sementara aku asih dalam gendongan belum mengerti semuanya. Baru ketika tulisan ini aku goreskan baulah merasa bahwa ternyata begitu berartinya kasih sayang.
***
Tiba-tiba saya teringat bahwa pepsoden di rumah telah habis. Walau aku tinggal bersama saudara, aku paham bahwa bukan dia yang mesti menanggung semuanya. Perempuan yang ikut denganku dalam boncengan saya juga pasti memiliki keperluan. Sedikit kawan, bahwa selama ini saya sering makan, minum, dan juga beristirahat di rumahnya. Baju, celanaku pun tak pernah lagi aku yang cuci, kecuali celana yang sensitif itu. Akhirnya aku singgah saja pada tempat berbelanjaan yang begitu ramai. Pastinya karena harganya murah. Juga pastinya bukan barang-barang mewah. Tapi itulah takaran masyarakat umum di Indonesia selama ini. Aku juga tergabung di dalamnya. Kuparkir motor yang juga gratis kemudian kutitip pakaian yang sekali lagi pun gratis, dan kami melangkahkan kaki ke lantai dua. Maklum pepsoden itu bertengger pada rak yang letaknya di lantai dua sudut belakang. Sudah begitu kuhafal, begitu hafalnya saya terhadap wajah kekasihku.
***
Mata yang sudah diperhadapkan dengan berbagai bayangan-bayangan makanan tidak lagi terfokus pada pepsoden yang sedari awal kurencanakan. Perempuan yang kutemani pun agaknya paham dan tidak menyia-nyiakan waktu ini. Segera saja dia sambar keranjang berwarna biru di sampinya. Warna biru telah melekat dalam di benaknya. Semuanya harus serba biru. Pun kalau barangnya tidak ada dan waktu telah mendesak maka kuning adalah gantinya. Itupun diawali dengan omelan-omelan tajam yang sudah begitu lazim di telingan saya. Segera kuambil indo mie goreng, seakan aku paham maksudnya mengambil keranjang. Dia pasang keranjangnya dan slep, segera masuklah indo mie tersebut yang disertai dengan senyuman. Baru beberapa langkah kulihat kaleng cokelat penjaga stamina. Kuambil dua kaleng sebagai kebiasaan kami sebelumnya. Di sampingnya tumpukan Milo yang telah di plaster ukuran lima satu ikatan dengan harga Rp 4250 kuambil. Jumlahnya dua. Maklum di luar jualannya seharga seribu per bungkus. Sedikit lebih untung. Kami pun kemudian menuju rak bumbu dapur. Kulihat botol dengan berjejer di sana. Walau botolnya putih, yang tampak adalah jejeran hitam pekat di sana. ABC mereknya kawan. Kuambil satu dan....kawan inilah yang paling mendebarkanku. Lebih mendebarkan daripada proses persalinan ibu kos teman dekatku tadi. Lebih bagus kalau kuakui bahwa dia kekasihku. Juga tak kalah mendebarkannya ketika bibir ayah bertemu dengan bibir ibu di atas atas wajah saya yang belum mengerti apa-apa. Tanganku yang masih bertengger pada rak juga terdiam di sana. Mataku yang terfokus pada merek kecap tersebut juga semakin berbinar. Tetapi binarannya tidaklah semakin memperjelas tulisan tersebut. Telingaku yang sedari tadi asyik dengan musik pengiring pusat pembelanjaan tiba-tiba beralih funsi. Musik yang memutar lagu “jangan tinggalkan aku” pun tiba-tiba menghilang dalam pendengaran. Bukan karena dimatikan, tetapi karena fungsi telinga yang berubah. Dari ujung rak aku mendengar suara yang menyebutkan namaku. Suara itu pun bukan suara yang tak lazim. Tak mungkin aku tak mengenal suara itu. Pasti dia orang yang selama ini paling kuhargai setelah ibuku. Kawan, sedikit kuinformasikan, ayahku telah meninggal beberapa tahun lalu. Ya, betul dia adalah laki-laki yang selama ini selalu memperhatikanku. Memberikan semangat yang melebihi dari segalanya sehingga aku bisa berhasil pada dua departemen untuk menjadi pegawai negeri. Pekerjaan yang begitu terhormat di negeri ini. Dan itu dianut oleh banyak orang. Tentunya aku pun bahagia.
“Armin” nama itu merasuk dalam telingaku. Kueja nama itu dalam pikiran dan hati membantahnya. Tidak perlu lama-lama untuk mengejanya, namakulah yang dipanggil. Aku pun berbalik dan sontak saja mataku pas bertemu dengan matanya. Dia tersenyum, senyumnya seolah bermakna bahwa nah sekarang kamu tak bisa mengelak lagi. Aku juga tersenyum. Namun, senyum saya berbeda maknanya. Raut wajah saya kaku. Darah seakan berhenti mengalir. Kutanya engkau kawan, apakah yang menyebabkan semua ini? Perempuan yang mengikut di belakangku juga kaku. Tapi, tak banyak. Tidak sama denganku. Dia mungkin belum tahu siapa sebenarnya orang yang di depan kami tersebut. Dengan segera dia menyalami saya. Katanya yang terlontar hanya satu, “Itumi” (dalam bahasa Makassar). Aku paham bahwa yang dia maksudkan adalah itukah calon istrimu? Aku masih gugup, tetapi kuyakinkan diri sejenak dan segera kujawab, “Iya”. Dia tersenyum sambil melepaskan tanganku. Perempuan yang kutemani pun disapa dengan salam dan jabatan tangan. Dengan segera kualihkan pembicaraan mengenai tugas istrinya. Untunglah dia juga segera melanjutkannya. Mungkin karena ini adalah kepentingannya. Setelah itu kuambil gerak berbalik dan kuberi kode pada perempuan yang disampingku. kuperkenalkan namanya Inar. Lebih lengkapnya Hasdinar. Setahun lalu juga sudah menamatkan pendidikannya di jurusan Fisika. Dia masih belum tahu siapa laki-laki itu. Setelah berbalik di balik rak kusampaikan padanya bahwa itu adalah om saya yang akan mewakili untuk melamarmu nanti. Dia terperanjak sekaligus tersenyum. Aku paham makna senyumannya. Mungkin juga engkau kawan.


Makassar, 06 Maret 2009

Kontemplasi

YANG DINANTI
Tepat malam tanggal 14 Februari. Banyak orang mengatakannya malam itu adalah malam valentine. Aku hanya sering mendengar istilah itu di televisI atau membacanya di Koran lokal dan nasional. Terutama menjelang dirayakannya hari tersebut. Ya, sekadar membacanya. Tetapi, suatu kali aku juga pernah membaca sekilas sejarah hari kasih sayang tersebut. Nama lain untuk valentine. Sebenarnya nama valentine itu diambil dari nama seorang panglima perang masa silam. Saat itu seorang panglima perang dilarang untuk menikah. Alasannya, dengan menikah dan pasti melakukan persanggamaan akan mengurangi kekuatan sang panglima perang. Sesuatu yang sangat ditakutkan pada zaman tersebut. Akhirnya, karena ketahuan oleh sang raja, maka dia pun dibunuh. Dari situlah mulai banyak orang yang bersimpati kepadanya dan orang selalu memperingati hari dibunuhnya panglima tersebut. Berkembanglah menjadi sebuah perubahan hari kasih sayang.
Pun sejarh ini tersebar dengan cepat dan termasuk menghinggapi manusia Indonesia yang begitu cepat menerima segala hal perubahan. Entah positif atau negatif. Dari sekian sahabat dan teman yang aku tanya, mereka tidak pernah alpa dari pesta kasih sayang tersebut. Tetapi, anehnya, mereka memaknai sangat dangkal dari hari tersebut. Memaknainya bahwa hari yang paling sering dirayakan pada malam sebelum harinya datang, adalah sebuah peringatan yang harus dirayakan dengan pasangan hidup. Entah dia suami-istri ataupun pasangan sejoli yang lagi dimabuk asmara kemunafikan. Toh, yang paling banyak merayakan pesta tersebut adalah mereka yang masih dalam status pacaran. Pun merayakannya dengan pemaknaan yang dangkal.
Malam itu, aku sedang bersama kawan-kawan lembaga—maklum aku masih sering menghadiri acara seperti itu walau sudah setahun meninggalkan kampus—di sebuah pantai Makassar. Jam pada handpohoneku telah berada pada angka 03.00 Wita. Malam yang telah larut. Bahkan sebentar lagi, matahari pasti akan datang mengusir bulan yang memang tak berani tampil malam itu. Di sekeliling aku melihat tak begitu ramai. Juga tak begitu sepi. Yang kulihat pastilah pasangan laki dan perempuan yang lalu lalang di hadapan, di samping, dan di belakang kami. Aku baru teringat bahwa malam itu adalah malam kasih sayang. Malam yang juga menjelma menjadi malam hilangnya keperawanan bagi banyak perempuan di dunia ini. Tak ketinggalan Indonesia dan Makassar khususnya pasti sama dengan semua itu. Di sisi lain, pada sebuah pohon pisang dan patahan kayu-kayu besar yang terdampar di pinggir pantai—maklum pantai itu bukanlah tempat rekreasi, ditambah hujan yang datang mengguyur kota tersebut menyebabkan sampah berserakan di mana-mana, termasuk laut—juga tak luput dari pasangan muda-mudi. Mereka duduk di atas patahan kayu dan pohon pisang tersebut. Terkadang sesekali sambil merangkul dan bahkan sambil mencumbu dalam kenikmatan tiada tara. Kenikmatan yang terbungkus oleh kemunafikan. Meraka tak peduli siapa yang lewat di sekitarnya. Toh mereka tahu bahwa siapa yang datang malam itu pastilah memiliki tujuan yang sama. Juga tak perlu diragukan pikiran yang sama.
Belum lagi malam kasih sayang yang dirayakan pada gedung-gedung tinggi dan mewah di kota ini. Bahkan hotel dan kafe modern lainnya menghadirkan artis papan atas hanya untuk menspesialkan malam tersebut. Bahkan, katanya sudah menjalar juga lelang pasangan untuk ditemani berkasih dalam semalam. Hal ini tidak perlu ditanyakan ketika di luar negeri. Saya menyinggngunya karena kita –Indonesia—adalah Negara berpenduduk islam terbesar di dunia.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Ternyata sms dari teman lama yang telah berada di luar kota. Setahun lamanaya aku tak pernah bersua dengannya. Dengan sigap kubuka handphoneku. Aku membacanya kata demi kata. Ternyata ada juga yang mengirimkan selamat valentine untukku. Aku hanya membalas sms itu dengan senyum kekeh.”he..he..23 kali”. Segera kukirim. Dia marah dan memakiku. Katanya aku tak mengerti tentang hari kasih sayang. “jadilah orang yang cepat tua” katanya dalam balasan SMS. Aku memutuskan untuk tidak membalas lagi SMS itu. Kututup handphone ku dan kulanjutkan cerita dengan teman. Tetapi kata-kata teman dalam SMS tadi masih membekas. Betulkah aku seperti itu.
Dalam hati, aku yakin bahwa wanita mana di Makassar ini yang tidak mau denganku. Sudah kujalani beberapa bulan semasa kuliah hidup yang seperti itu. Semunaya hanya kemunafikan. Kenikmatan sesaat. Kenikmatan yang berbuah penyesalan. Apalagi malam valentine. semuanya hanya sia-sia. Toh, kasih sayang yang diberikan hanyalah kasih sayang semu. Kasih sayang yang membutuhkan materi dan balasan kenikmatan sesaat. Ditambah dengan dosa yang mendalam dan lebih berbahaya. Akan mengantarkan pada kenikmatan neraka.
Aku hanya terus berjuang untuk memperingatkan kawan-kawan agar tidak dalam keterpengaruhan kasih sayang ini. Di sisi lain, aku melihat banyak anak-anak dengan wajah kusut dan pakaian compang-camping tertidur pulas pada halte yang kotor. Halte yang tak lagi digunakan untuk menunggu kendaraan yang sering terlambat datangnya. Dimana sebenarnya pemaknaan kasih sayang tersebut. Kenapa bukan orang yang seperti itu tempat untuk mencurahkan kasih sayang. Ataukah mereka memang tak pantas untuk dikasihani. Untuk diberi kasih sayang. Hanya karena ada rasa yang terdorong oleh nafsu yang membuat mereka saling mengasihi. Saling menyayangi.
Merekalah yang sepantasnya tercurahkan kasih sayang. Sehingga pemahaman kasih sayang yang sifatnya luas mampu untuk dimaknai dan diterapkan dalam hidup yang mesra. Kesejahteraan akan terjamin tercipta dengan pemahaman kasih sayang yang sebenarnya. Kasih sayang orang kaya kepada orang miskin. Kasih sayang orang tua kepada anaknya. Kasih sayang suami kepada istrinya, begitupun sebaliknya. Yang terpenting kasih sayang pemerintah untuk rakyatnya.

Makassar, 20 Februari 2009

Kontemplasi

Saatnya tiba !!!

Empat puluh tahun bertatambah dua bulan perempuan itu mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Dia begitu gigih menghadapi siswanya yang tak pernah genap berjumlah lima puluh orang. Apalagi lebih, semua itu hanyalah angan-angan.
Tiap pagi dia harus menghadapi siswa yang begitu bersemangat untuk mampu mengeja a sampai z dan merangkainya menjadi kata-kata yang mungkin saja lucu baginya. Sekolah itu bernama Madrasah Ibtidaiyah Swasta Tuhoi. Kehadirannya berada di bawah naungan Al Maarif. Entah yayasan apa itu. Sepuluh tahun sudah saya meninggalkan sekolah itu, dan bahkan sekarang saya telah menjadi pegawai negeri yang juga pengajar di tingkat SMA, namun aku belum tahu asal usul dan keberadaan yayasan tersebut.
Sekolahnya berdiri pada sebidang tanah yang tak kalah luasnya dari seperdua lapangan bola yang tak pernah digunakan untuk bertanding. Artinya tidak memiliki standar ukuran untuk sebuah lapangan bola. Disitulah stiap hari perempuan itu mengeja dan menjumlahkan serta mengajar para muridnya untuk mengaji. Belum lagi pelajaran agama berupa quran hadits, fikih serta satu tambahan mata pelajaran yang juga mungkin menguntungkan sang guru. Bergantian untuk mencangkul ketika jam istrahat tiba. Enam cangkul tersusun rapi pada sudut skolah. Maklum, sekolah itu berdiri pada tanah yang diwakafkan olehnya sendiri. Sungguh luar biasa aura kehormatan dan keihlasan sang guru. Sembilan tahun perempuan ini mesti bolak-balik dari kelas satu sampai kelas enam dan kembali ke kelas satu. Hal ini mesti dia kerjakan setelah suaminya yang juga guru meninggalkannya untuk selamanya. Jangan tanya kenapa tidak mencari saja guru honor untuk membantunya. Sampai akhir ketika dia diberikan SK pensiun, penerangan, deru mobil, dan penjual pakaian yang pasti kebanyakan bekas atau lebih dikenal dengan nama cakar tak pernah dia rasakan hadir di tempatnya mengajar. Pun akhir pensiunnya hadirlah sinyal dari Telkomsel dan Indosat. Mungkin karena sinyal ini hanya melayang di udara jadi juga sempat melewati wilayahnya walau sebenarnya bukan diperuntukkan untuk daerah tersebut.
Enam tahun sebelum masa pensiunnya tiba, barulah putranya seorang laki-laki jebolan IAIN yang sekarang berevolusi menjadi UIN melanjutkan pengabdiannya. Pun dia hanya berdua. Walau sedikit meringankan bebannya yang dari enam kelas ditanganinya sendiri menjadi tiga kelas. Sedikit meringankan. Sebuah pengabdian yang tak terkira nilainya. Untunglah siswa dan orang tua yang memiliki anak untuk disekolahkan di sekolah tersebut juga paham akan arti pengorabanan dan kasih sayang serta balas jasa. Walau mereka juga tak pernah duduk pada bangku sekolah. Sang guru tak perlu berjalan 40 km pergi pulang hanya untuk membeli dua ekor ikan cakalang yang cukup untuk dimakan empat hari. Dia tinggallah menitip uang dan menyebutkan apa yang akan dipesannya. Minyak tanah tak perlu. Sayur pun tak butuh. Maksudnya untuk dibeli di pasar. Orang tua sang murid paham. Pun murid seperti itu. Mereka selalu mengambil kayu di sekitar sekolah tatkala jam pulang telah tiba. Bukan untuk dibawa sampai di rumahnya. Bahkan dirumahnya ibu mereka baru mencari kayu ketika menjelang memasak. Kayu itu singgah di kolong rumah gurunya, sehingga di sana terlihat barisan kayu yang siap untuk digunakan memasak berjejer mengiringi tiang yang tak pernah lapuk karena terbuat dari pohon sappu (kayu khas daerah tersebut yang dipercaya sangat kuat).
Pun sayur begitu adanya. Dia begitu rajin menanami sekitar sekolah yang telah dicangkul oleh siswa dengan kacang panjang diselingi buncis. Tak pernah tunggu sampai kering untuk memanennya. Hanya menunggu setiap muncul daun baru untuk dijadikan sayur. Juga ditambah dengan keseringan orang tua siswa menyinggahkan secangkir isi bencis serta daun ubi yang mereka ambil dari kebun mereka. Di belakang rumah dekat tempat pembuangan hajat juga dengan subur tumbuh serumpun bambu yang setiap tahun menyuguhkan rebung yang begitu enak dan menyehatkan. Kemorenan sangat jauh dari dunianya.,
Tetapi kini usianya sudah melebihi batas pengabdian seorang Pegawai Negeri Sipil. Padahal dia tak pernah merencanakan untuk pensiun. Bukan karena gaji yang dia takutkan untuk berkurang. Karena begitu emosinya telah sangat erat dengan kehidupan siswa dan lingkungannya. Bahkan sampai SK berada di tangannya pun dia masih setia mengajar dan juga selebihnya. Sedikit untuk meringankan pekerjaan anaknya sendiri yang akan melanjutkan pengabdian itu. Juga sendiri. Tak ada seorang pun yang layak untuk dijadikan pengajar suka rela demi membantunya. Prinsip masyarakat sangat simpel. Hanya berharap semua anaknya mampu untuk menulis dan membaca. Setelah itu, kemudian ke Makassar bergabung dengan keluarga mereka yang telah lebih dulu berada di tempat itu untuk bergabung membantu orang-orang cina. Pasti dengan gaji yang tidak mencapai UMR. Tapi itulah kenyatan yang membanggakan bagi meraka.
Semoga pengabdiannya mendapat tempat dalam sisi yang mengagumkan. Panjang umur teriring doaku sebagai anak juga sebagai muridnya yang menurut orang telah berhasil.


Muhajirin, 01 maret 2009

Selasa, 24 Februari 2009

SMS Pagi

Seperti biasanya, hari ini saya terlambat bangun. kulihat jam dinding yang sudah agak kusam, tetapi masih setia untuk menemani dalam perjalanan waktu. Jarum pendeknya berada pada angka enam dan jarum panjangnya terpaut pada angka sembilan. artinya pukul 06.45 Wita waktu terbangunku hari ini. Aku betul-betul terlambat. Saya pun baru tahu bahwa aku terlambat salat subuh. Segera kuambil air wudhu karena aku yakin dengan perkataan ustadzku semasa di bangsu sekolah dulu bahwa pukul berapapun ketika itu baru terbangun, maka laksanakanlah salat subuh. Suatu yang memberikanku semangat untuk tetap beribadah kepadanya dan juga yang pasti mengharap surganya.
seperti biasanya pula, setelah shalat maka sesegera mungkin kuaktifkan hanphone yang semalam kumatikan. harapanny supaya tertidur nyenyak dan bangun untuk hadirnya sms sapaan untuk sekadar mengucapkan selamat pagi atau menanyakan kabarku hari ini. Sama seperti dugaanku, belum cukup lima detik nada sms telah berdering. deringannya berulang-ulang. Itu pertanda bahwa sms yang masuk lebih dari satu. Dengan sigap sambil menghisap air dari sebuah botol Aqua berukuran sedang sebagai kebiasaanku setiap hari kuraih handphone dan segera kubuka penutup yang menjadi pengamannya.
Separuh Napas. Nama pengirim sms yang belum aku baca apa isinya. Sms itu setiap hari mengisi handphoneku. maklum, kami memang telah begitu dekat empat tahun terakhir ini. Tinggillah kehadiran penghulu yang kami harapkan untuk membukukan jalinan kebersamaan yang begitu indah. Aku berbisik. Pastilah sms yang masuk akan sama dengan yang datang sebelum-sebelumnya. Pasti dia akan menanyakan apakah saya sudah bangun atau belum. Kalaupun yang lain, kalaupun yang lain pastilah dia akan mengatakan selamat menjalankan aktivitas hari ini. Ditambah kata-kata sayang dan bumbu kerinduan di dalamnya. Suatu hal yang sudah sangat sering kita lakukan, tetapi tetap memiliki aura kasih yang begitu membanggakan. Tak pas rasanya ketika kita tidak saling menyapa sebelum tidur dan juga ketika baru saja terbangun. Belum lagi terhitung percumbuan dalam sms yang begitu banyak tiap harinya. bersambung......

Minggu, 22 Februari 2009

Anak Jalanan

mereka telah melarangmu
untuk membunyikan kaleng kehidupan
pada sisi lampu merah
juga perempatan jalan

kaleng tak lagi berisi
lagu penghangat tak lagi engkau hafal
dari mana engkau kais kehidupanmu saat ini
mereka tak peduli akan kehidupan
mereka hanya terbayang oleh keindahan

gubuk yang tak bertiang ditarik eskavator
goyangannya memekakkan angkasa
entah, siapa yang menggantikan mereka
entah, sama atau berbeda


Makassar, Feb 2008

Selasa, 17 Februari 2009

Darah Senja

Engkau terbaring lemas dalam tumpukan birahi
baru saja kita mengakhiri semuanya
peluh mengitari keningmu
pertanda ubun-ubun itu telah penuh

senja mengantarkan kita pada perpisahan
sesuatu yang tidak kita inginkan
tapi semunya telah tercebur
dalam darah dan tetesan air mata.

adakah jiwa yang kering
habis dalam jambakan pelaminan
dan tidak ada kata perceraian
aku akan menapaki jalan itu

makassar, feb 2009

Kamis, 12 Februari 2009

Tulisan

ETALASE SENJA


Sebuah pertemuan yang tak terduga tiba-tiba saja terjadi. Darah berceceran di mana-mana. Kehangatan yang selama ini dirasakan hilang dengan segera. Sudah sejam situasi itu terjadi pada sebuah desa yang diberi nama desa Kabambangang. Letaknya tak jauh dari ibukota kabupaten. Jalannya yang meliuk serta pinggiran jalan yang dihiasi pantai indah. Di sisi lain tersenyum nyiur untuk menjemput tiap orang yang datang.
Semua itu tiba-tiba saja berubah. Tiada lagi senyum manis yang terbersik dari tiap sisi bibir manis gadis desa. Semuanya sudah sibuk dengan pilihan mereka sendiri. Semuanya saling mencurigai. Tiap meter dan tiap jejeran rumah yang aku lewati memiliki warna yang berbeda. Terkadang di kanan aku melihat warna kuning dengan nomor 23 terpampang. Di sisi lain paduan kuning dan berbagai warna lain dengan nomor 8 juga begitu apik tersusun di depan rumah salah seorang warga.
Semua itu belum lama ini terjadi. Semakin hari, hiasan warna itu semakin marak. Katanya menjelang bulan April. Aku begitu heran dengan situasi kampungku saat ini. Aku begitu bosan. Begitu jengkel. Mengapa hanya warna-warna yang terpajang itu membuat kita terpecah. Membuat kita saling mencurigai dan seakan tempat tiap orang adalah sebatas pekarangan mereka. Semua ini terjadi karena hadirnya para kontestan dalam pemilu yang semakin hari-semakin menjadi. Tiada lagi sisi jalan yang lengang. Kalau bukan bendera, maka yang tampak di mata adalah baligho yang tersenyum manis. Manisnya sesuatu yang dipaksakan. Hanya sebatas bagaiamana mempengaruhi oang-orang yang menyaksikan muka manisnya untuk mencontreng gambar merea 9 April mendatang. Semuanya hanya etalase.
Suatu waktu kawanku menceritakan tentang seorang caleg dikampungnya. Katanya, orang yang macccaleg tersebut adalah seorang mantan kepala koperasi. Namnya begitu dikenal. Setiap baligho yang dipajang diikuti dengan tulisan delapan tahun mengabdi untuk rakyat. Teman yang kebetulan sekampung dengan caleg tersebut memplesetkannya menjadi delapan tahun memeras rakyat. Bukan hanya dirinya yang mengatakan seperti itu, tetapi kebanyakan masyarakat desa. Sebuah pertanda tak terpilih dan kekecewaan yang akan didapatkan oleh caleg tersebut. Kasian.
Saya berpikir bahwa hal itu yang kebanyakan terjadi. Di Makassar saja misalnya, 800-an orang yang caleg, sementara hanya 45 orang yang akan tersaring dalam pemilu nantinya. Sekali lagi, kasian. Akan kemana mereka dan dari mana mereka mesti mengganti uang kampanye bagi yang tak terpilih. Busyet. Mungkin saja strok centre akan semakin disesaki oleh penghuni-penghuni baru. Anehnya, penghuni itu adalah mantan caleg. Akan terciptalah nanti rumah sakit jiwa khusus caleg. Mungkin mirip nusakambangan. Belum lagi caleg-caleg stress yang berasal dari daerah lain. Ribuan jumlahnya.
Sementara mereka yang lolos akan tertawa terbahak-bahak sambil mencomooh para pesaingnya yang gagal. Enam bulan digunakan hanya untuk menerima ucapan selamat dan mencemooh kawan-kawannya. Bulan-bulan berikutnya digunakan utnuk mengmablikan utang-utang semasa kampanye. Takun berikutnya digunakan untuk membayar upeti kepada orang-orang tertentu yang senantiasa mendukung keberadaanya. Tahun berikutnya berpikir untuk kekayaan dan kebanggaan secara pribadi dan keluarga. Setahun terakhir berpikir bagaimana bias kembali lolos dengan hal yang sama. Kasian rakyat. Tiada waktu yan disisihakn untuk berbuat demi kemuslahatan merem\ka. Cerita vbanyak, mendukung pembangunan untuk rakyat, berjuang untuk rakyat, tetapi semuanya hanya etalase.

Makassar, 04 Februari ‘09