Selasa, 24 Februari 2009

SMS Pagi

Seperti biasanya, hari ini saya terlambat bangun. kulihat jam dinding yang sudah agak kusam, tetapi masih setia untuk menemani dalam perjalanan waktu. Jarum pendeknya berada pada angka enam dan jarum panjangnya terpaut pada angka sembilan. artinya pukul 06.45 Wita waktu terbangunku hari ini. Aku betul-betul terlambat. Saya pun baru tahu bahwa aku terlambat salat subuh. Segera kuambil air wudhu karena aku yakin dengan perkataan ustadzku semasa di bangsu sekolah dulu bahwa pukul berapapun ketika itu baru terbangun, maka laksanakanlah salat subuh. Suatu yang memberikanku semangat untuk tetap beribadah kepadanya dan juga yang pasti mengharap surganya.
seperti biasanya pula, setelah shalat maka sesegera mungkin kuaktifkan hanphone yang semalam kumatikan. harapanny supaya tertidur nyenyak dan bangun untuk hadirnya sms sapaan untuk sekadar mengucapkan selamat pagi atau menanyakan kabarku hari ini. Sama seperti dugaanku, belum cukup lima detik nada sms telah berdering. deringannya berulang-ulang. Itu pertanda bahwa sms yang masuk lebih dari satu. Dengan sigap sambil menghisap air dari sebuah botol Aqua berukuran sedang sebagai kebiasaanku setiap hari kuraih handphone dan segera kubuka penutup yang menjadi pengamannya.
Separuh Napas. Nama pengirim sms yang belum aku baca apa isinya. Sms itu setiap hari mengisi handphoneku. maklum, kami memang telah begitu dekat empat tahun terakhir ini. Tinggillah kehadiran penghulu yang kami harapkan untuk membukukan jalinan kebersamaan yang begitu indah. Aku berbisik. Pastilah sms yang masuk akan sama dengan yang datang sebelum-sebelumnya. Pasti dia akan menanyakan apakah saya sudah bangun atau belum. Kalaupun yang lain, kalaupun yang lain pastilah dia akan mengatakan selamat menjalankan aktivitas hari ini. Ditambah kata-kata sayang dan bumbu kerinduan di dalamnya. Suatu hal yang sudah sangat sering kita lakukan, tetapi tetap memiliki aura kasih yang begitu membanggakan. Tak pas rasanya ketika kita tidak saling menyapa sebelum tidur dan juga ketika baru saja terbangun. Belum lagi terhitung percumbuan dalam sms yang begitu banyak tiap harinya. bersambung......

Minggu, 22 Februari 2009

Anak Jalanan

mereka telah melarangmu
untuk membunyikan kaleng kehidupan
pada sisi lampu merah
juga perempatan jalan

kaleng tak lagi berisi
lagu penghangat tak lagi engkau hafal
dari mana engkau kais kehidupanmu saat ini
mereka tak peduli akan kehidupan
mereka hanya terbayang oleh keindahan

gubuk yang tak bertiang ditarik eskavator
goyangannya memekakkan angkasa
entah, siapa yang menggantikan mereka
entah, sama atau berbeda


Makassar, Feb 2008

Selasa, 17 Februari 2009

Darah Senja

Engkau terbaring lemas dalam tumpukan birahi
baru saja kita mengakhiri semuanya
peluh mengitari keningmu
pertanda ubun-ubun itu telah penuh

senja mengantarkan kita pada perpisahan
sesuatu yang tidak kita inginkan
tapi semunya telah tercebur
dalam darah dan tetesan air mata.

adakah jiwa yang kering
habis dalam jambakan pelaminan
dan tidak ada kata perceraian
aku akan menapaki jalan itu

makassar, feb 2009

Kamis, 12 Februari 2009

Tulisan

ETALASE SENJA


Sebuah pertemuan yang tak terduga tiba-tiba saja terjadi. Darah berceceran di mana-mana. Kehangatan yang selama ini dirasakan hilang dengan segera. Sudah sejam situasi itu terjadi pada sebuah desa yang diberi nama desa Kabambangang. Letaknya tak jauh dari ibukota kabupaten. Jalannya yang meliuk serta pinggiran jalan yang dihiasi pantai indah. Di sisi lain tersenyum nyiur untuk menjemput tiap orang yang datang.
Semua itu tiba-tiba saja berubah. Tiada lagi senyum manis yang terbersik dari tiap sisi bibir manis gadis desa. Semuanya sudah sibuk dengan pilihan mereka sendiri. Semuanya saling mencurigai. Tiap meter dan tiap jejeran rumah yang aku lewati memiliki warna yang berbeda. Terkadang di kanan aku melihat warna kuning dengan nomor 23 terpampang. Di sisi lain paduan kuning dan berbagai warna lain dengan nomor 8 juga begitu apik tersusun di depan rumah salah seorang warga.
Semua itu belum lama ini terjadi. Semakin hari, hiasan warna itu semakin marak. Katanya menjelang bulan April. Aku begitu heran dengan situasi kampungku saat ini. Aku begitu bosan. Begitu jengkel. Mengapa hanya warna-warna yang terpajang itu membuat kita terpecah. Membuat kita saling mencurigai dan seakan tempat tiap orang adalah sebatas pekarangan mereka. Semua ini terjadi karena hadirnya para kontestan dalam pemilu yang semakin hari-semakin menjadi. Tiada lagi sisi jalan yang lengang. Kalau bukan bendera, maka yang tampak di mata adalah baligho yang tersenyum manis. Manisnya sesuatu yang dipaksakan. Hanya sebatas bagaiamana mempengaruhi oang-orang yang menyaksikan muka manisnya untuk mencontreng gambar merea 9 April mendatang. Semuanya hanya etalase.
Suatu waktu kawanku menceritakan tentang seorang caleg dikampungnya. Katanya, orang yang macccaleg tersebut adalah seorang mantan kepala koperasi. Namnya begitu dikenal. Setiap baligho yang dipajang diikuti dengan tulisan delapan tahun mengabdi untuk rakyat. Teman yang kebetulan sekampung dengan caleg tersebut memplesetkannya menjadi delapan tahun memeras rakyat. Bukan hanya dirinya yang mengatakan seperti itu, tetapi kebanyakan masyarakat desa. Sebuah pertanda tak terpilih dan kekecewaan yang akan didapatkan oleh caleg tersebut. Kasian.
Saya berpikir bahwa hal itu yang kebanyakan terjadi. Di Makassar saja misalnya, 800-an orang yang caleg, sementara hanya 45 orang yang akan tersaring dalam pemilu nantinya. Sekali lagi, kasian. Akan kemana mereka dan dari mana mereka mesti mengganti uang kampanye bagi yang tak terpilih. Busyet. Mungkin saja strok centre akan semakin disesaki oleh penghuni-penghuni baru. Anehnya, penghuni itu adalah mantan caleg. Akan terciptalah nanti rumah sakit jiwa khusus caleg. Mungkin mirip nusakambangan. Belum lagi caleg-caleg stress yang berasal dari daerah lain. Ribuan jumlahnya.
Sementara mereka yang lolos akan tertawa terbahak-bahak sambil mencomooh para pesaingnya yang gagal. Enam bulan digunakan hanya untuk menerima ucapan selamat dan mencemooh kawan-kawannya. Bulan-bulan berikutnya digunakan utnuk mengmablikan utang-utang semasa kampanye. Takun berikutnya digunakan untuk membayar upeti kepada orang-orang tertentu yang senantiasa mendukung keberadaanya. Tahun berikutnya berpikir untuk kekayaan dan kebanggaan secara pribadi dan keluarga. Setahun terakhir berpikir bagaimana bias kembali lolos dengan hal yang sama. Kasian rakyat. Tiada waktu yan disisihakn untuk berbuat demi kemuslahatan merem\ka. Cerita vbanyak, mendukung pembangunan untuk rakyat, berjuang untuk rakyat, tetapi semuanya hanya etalase.

Makassar, 04 Februari ‘09